21October 2019 13:34 PM. Mengenal Fungsi Palinggih Pamerajan dan Pekarangan di Bali. DENPASAR, BALI EXPRESS - Dalam konsep sebuah keluarga di Bali, selain satu keluarga harus memiliki rumah tinggal dan dapur, sebuah keluarga Hindu di Bali juga harus memiliki sebuah tempat pemujaan yang dikenal dengan nama Sanggah atau Pamerajan.

Pulau Bali dikenal juga dengan nama pulau Dewata atau pulau Seribu Pura, nama tersebut sangat beralasan, karena keyakinan umat beragama bagi masyarakat Bali adalah mayoritas beragama Hindu dan mengenal adanya banyak nama Dewa sebagai manifestasi Tuhan. Yang pada intinya Tuhan tersebut adalah satu namun disebutkan dengan banyak nama sesuai sifat dan fungsinya. Stana dan tempat suci dari Tuhan tersebut dinamakan Pura, untuk itulah terdapat banyak pura di Bali. Tuhan dalam konsep kepercayaan agama Hindu, bukanlah suatu sosok tertentu, tidak spesifik, Dia tidak terpisah dari jagat raya ini, Dia adalah segalanya, Dia sebagai awal dan akhir segalanya. Tuhan tak tersentuh, tak terpikirkan, hening dan tak tergoyahkan. Ketika Tuhan menunjukkan kekuatan-Nya, maka manusia hanya melihatnya sebagai sinar suci. Dan sinar suci Tuhan dikenal dengan nama Dewa. baca juga paket Pura Besakih – Lempuyang Tour >>>> Dewa berasal dari kata Div yang artinya sinar, maka sejatinya sinar suci tersebutlah yang bisa ditangkap oleh manusia dan disebut Dewa, dan untuk itulah dibedakan sifat dari sinar-sinar suci tersebut sesuai sifatnya dalam sebutan banyak nama. Dan untuk itulah ada sebutan banyak Dewa dalam ajaran agama Hindu, namun satu Tuhan yakni Ida Sang Hyang widhi Wasa. Salah satu contoh nama atau penamaan pura di Bali, termasuk nama Dewa yang distanakan di tempat suci tersebut seperti pada pada pura Kahyangan Tiga pada setiap desa adat atau desa Pekraman di Bali. Pura Kahyangan Tiga tersebut diantaranya pura Desa sebagai stana Dewa Brahma yang berfungsi sebagai Dewa pencipta, Puseh sebagai stana Dewa Wisnu sebagai Dewa Pemelihara dan Dalem sebagai stana Dewa Siwa yang berfungsi sebagai Pelebur, sesuai dengan kehidupan kita lahir, hidup dan mati. Ketiga dewa tersebut dikenal juga dengan sebutan Dewa Tri Murti. Dan terdapat banyak lagi Pura di Bali lainnya yang mungkin tidak bisa disebutkan satu persatu. baca juga sejarah kerajaan Bali kuno di Bali >>>> Konsep pembangunan sebuah tempat suci di Bali juga tidak sembarangan, apalagi sebuah pura besar yang merupakan kahyangan jagat mengadopsi kearifan lokal dengan arsitektur Bali yang khas unik dan indah, tata ruangnya mengacu pada panduan Asta Kosala Kosali dan Tri Hita Karana. Sangat memperhatikan unsur keselarasan dengan sang Pencipta, dengan sesama dan juga lingkungan. Setiap pura yang dibangun menyesuaikan ukuran panjang, lebar, tinggi, tingkatan, hiasan dan posisi bangunan sesuai acuan Asta Kosala Kosali tersebut. Di pulau Dewata Bali, tidak hanya pembangunan tempat suci menyesuaikan dengan acuan tata ruang seperti yang di acuan Asta Kosala Kosali, tetapi kalau bisa juga saat pembangunan rumah atau pekarangan yang memungkinkan, sehingga diharapkan bisa berjalan selaras pada kehidupan manusia tersebut, baik itu hubungan dengan Tuhan, sesama maupun lingkungan sekitar. Salah satu penerapan, tata ruang desa yang menerapkan pembangunan tempat suci sesuai acuan Asta Kosala Kosali adalah desa adat Penglipuran yang juga dijadikan salah satu objek wisata di Bali, pura desa dibangun di hulu desa, perumahan penduduk di tengah-tengah desa dan kuburan dibangun di hilir desa. Dari sekian banyaknya pura di Bali, berdasarkan fungsi dan karakteristiknya dikelompokkan menjadi 4 jenis, seperti; 1. Pura Kahyangan jagat dan Dang Kahyangan Jagat Tempat suci ini menjadi penyungsungan jagat oleh seluruh umat Hindu di Bali, tergolong umum tempat memuja Tuhan sesuai dengan segala prabhawa ataupun manisfestasi-Nya, bangunan suci tersebut tersebut menempati 8 penjuru mata angin termasuk 1 pura di tengah-tengah, sehingga tuhan yang berstana di masing-masing pura dikenal dengan sebutan Dewata Nawa Sanga, tempat suci tersebut diantaranya; Pura Besakih – Timur Laut / Ersanya – sebagai stana Dewa Sambu – Sakti Maha Dewi – senjatanya Trisula – warna biru – aksara sucinya Wa. Pura Lempuyang – Timur / Purwa – sebagai stana Dewa Iswara – sakti Uma Dewi – senjatanya Bajra – warna putih – aksara sucinya Sa. Pura Goa Lawah – Tenggara / Genya – sebagai stana Dewa Maheswara – Sakti Laksmi Dewi – senjatanya Dupa – warna merah muda – aksara sucinya Na. Pura Andakasa – Selatan / Daksina – sebagai stana Dewa Brahma – Sakti Dewi Saraswati – senjatanya Gada – warna merah – aksara sucinya Ba. Pura Uluwatu – Barat Daya / Noritya – sebagai stana Dewa Rudra – Sakti Dewi Santani – senjatanya Moksala – warna Jingga – aksara sucinya Ma. Pura Batukaru – Barat / Pascima – sebagai stana Dewa Mahadewa – Sakti Dewi Saci – senjatanya Nagapasa – warna Kuning – aksara sucinya Ta. Pura Puncak Mangu – Barat Laut/ Wayabya – sebagai stana Dewa Sangkara – Sakti Dewi Rodri – senjatanya Angkus – warna hijau – aksara sucinya Si. Pura Ulun Danu – Utara / Uttara – sebagai stana Dewa Wisnu – Sakti Dewi Sri – senjatanya Cakra – warna hitam – aksara sucinya A. Pura Besakih – Tengah / Madya – sebagai stana Dewa Siwa – Sakti Uma Dewi Parwati – senjatanya Padma – Panca Warna brumbun – aksara sucinya I dan Ya. Selain Kahyangan Jagat juga dikenal juga istilah Dang Kahyangan Jagat, pura Dang Kahyangan Jagat dibangun tersebut dibangun sebagai tempat pemujaan dan penghormatan terhadap guru-guru suci untuk menghormati jasa-jasa seorang pandita. Sejumlah pura Dang Kahyangan Jagat tersebut diantaranya Rambut Siwi berkaitan dengan perjalanan rohani Dang Hyang Nirartha yang meletakkan sehelai rambutnya sehingga bernama Rambut Siwi, pura Silayukti sebagai tempat moksahnya Mpu Kuturan, Tanah Lot, Ponjok, Pulaki tidak lepas dari kedatangan Danghyang Nirartha ke Bali. Dan banyak lagi tempat suci lainnya yang dikelompokkan sebagai Dang Kahyangan Jagat. 2. Pura Kahyangan Tiga Dalam setiap desa adat atau desa pekraman di Bali terdapat 3 buah tempat suci utama yang dinamakan dengan Pura Kahyangan Tiga, yaitu Pura Desa tempat stana dewa Brahma, Puseh Stana Dewa Wisnu dan Dalem stana Dewa Siwa. 3. Pura Swagina Pura di Bali ini dikelompokkan berdasarkan fungsinya, berdasarkan kesamaan dalam sebuah mata pencaharian atau sebuah pekerjaan seperti Pura Melanting untuk para pedagang, Subak, Bedugul, Ulunsuwi dan Uluncarik untuk para petani, ada juga tempat suci pura pada sebuah perkantoran, perusahaan ataupun hotel. 4. Pura Kawitan Dibangun berdasarkan asal-usul dalam satu garis keturunan atau wit sehingga dikenal dengan nama Kawitan, bangunan suci dalam kelompok ini seperti Sanggah pemerajan yang ada dalam rumah masing-masing, Dadia, Paibon, Panti dan Pedarman yang ada di Besakih. Objek wisata Pura di Bali Desain bangunan suci tersebut tampil menarik dan indah, pulau Dewata Bali sebagai destinasi wisata dunia, tentunya hal-hal unik dan juga warisan budaya masa lalu tersebut menjadi hal menarik untuk dinikmati, di tambah lagi keindahan alam sekitarnya yang ditawarkan. Keindahan, keunikan dan budaya seni yang ditampilkan pura tersebut, membuatnya beberapa dari pura yang ada di Bali juga cukup menarik perhatian wisatawan dan sering dikunjungi melengkapi objek wisata di Bali. lanjut baca daftar objek wisata pura di Bali >>>> Ada sejumlah pura di Bali yang menjadi destinasi wisata dan tujuan tour bagi wisatawan, seperti Pura Besakih, Uluwatu, Batukaru, Tanah Lot, Taman Ayun, Kehen, Ulun Danu Bedugul, Pura Puseh Batuan dan sekarang yang sedang trends adalah Pura Penataran Agung Lempuyang, pura ini menawarkan pemandangan instagramable, sehingga selalu ramai wisatawan, apalagi mereka yang hobi foto selfie. Bali Tours Club menyediakan sewa mobil di Bali, baik itu sewa mobil plus supir ataupun lepas kunci, termasuk juga sewa bus pariwisata. Paket tour murah juga disediakan, mulai dari tour setengah hari sampai 6 hari tour. Layanan wisata seperti berbagai jenis rekreasi juga tersedia, seperti rekreasi kapal selam Odyssey Submarine Bali, rekreasi rafting di Ayung Ubud, cruise, wisata naik unta dan watersport di Tanjung Benoa. Untuk tiket fast boat disediakan tiket ke Nusa Lembongan, Nusa Penida dan fast boat ke Gili Trawangan Lombok dengan harga lebih murah, semuanya untuk melengkapi keperluan liburan anda.

Liputan6com, Jakarta - Coba ingat-ingat temanmu dari Bali, mungkin namanya ada kata Wayan, Made, atau Komang. Pada umumnya orang Bali memiliki nama depan seperti I Wayan, Ni Kadek, Komang, Ketut. Ada juga yang memiliki nama depan seperti Anak Agung, Ida Ayu, Gusti. Apakah artinya? 'Apa arti sebuah nama?' tak berlaku di sini.

Om Swastiastu, Banyak orang bingung mencari Kawitan karena pada zaman Bali Kuna belum ada pemujaan Tuhan melalui Bhatara Hyang Kawitan. Stelah kalahnya Bali pemerintahan dipegang oleh Dalem Baturenggong dengan dibantu Danghyang Nirarta yg diberi gelar Pedanda sakti Wawu Rauh baru ada pemujaan Kawitan. Jadi orang2 Bali Mula yg sudah ada di Bali sebelum masuknya Dh Nirarta menjadi bingung untuk menelusuri jejak2 leluhur mereka yg sudah ada sebelum masuknya Dh Nirarrta. Pertanyaannya, dimanakah kawitan dan padharmanya para raja dan para ksatria Bali Kuna itu? Sehingga banyak masyarakat Bali Mula contoh Kubayan, Dukuh, Karang Buncing, Tangkas, Bandesa, dimasukkan ke soroh Pasek, padahal Kubayan itu adalah jabatan rohaniawan desa Bali Kuna sebelum masuknya Hindu ke Bali. Dukuh adalah turunan raja2 Bali Kuno yg diberi gelar kependetaan oleh Danghyang Nirartta yg diberi julukan Pedanda Sakti Wawurawuh. Banyak sekali kontroversi mengenai sejarah Bali ini yang perlu diluruskan. Catur Lawa Dukuh, Pasek, Pande, Penyarikan itu bukan soroh atau kelompok warga. Catur Lawa itu adalah 4 kelompok tugas yang membantu kelancaran jalannya upacara yang ada di Pr Penataran Besakih. Dukuh yang mempunyai tugas bagian simbol suci Tuhan atau yang “muput” upakara, Penyarikan mempunyai tugas bagian administrasi, Pande dan Pasek mempunyai tugas membuat sarana dan prasarana lainnya misalnya, membuat tempat pemiosan, menatah logam, dan kerangka lainnya. Jadi dimanakah Kawitan dan Pedharmar masyarakat Bali Mula itu ?? Memuja Tuhan Melalui Pura Kawitan Stana Leluhur Yang Disucikan, Media Terdekat Antara Manusia Dengan Tuhan/ Hyang Widhi Pendiskreditan Kerajaan Badhahulu yang tertulis selama ini menjadi Beda Hulu berselisih dengan pusat/Majapahit dan Beda Muka raja berkepala babi oleh para penekun sastra dan para sejarawan, membawa dampak kebingungan bagi generasi muda Hindu yang ada di Bali, dalam meng-AJeg-kan agama dan budaya Hindu dari hampir kepunahan setelah jatuhnya kerajaan Majapahit oleh Sultan Demak yang beragama Islam di awal abad ke 16. Dengan menyatunya Hindu Majapahit dengan Hindu Bali yang dimediasi oleh Danghyang Nirartta kemudian diberi gelar Peranda Sakti Wawu Rauh adalah suatu keuntungan untuk memperkokoh kembali agama dan budaya Hindu yang pernah berjaya di bumi Nusantara ini pada awal tarikh masehi. Dalam kitab Nagara Kretagama oleh Slamet Mulyana, pupuh nomor 14 dan 79, Negara Kertagama oleh Megandaru W. Kawuryan 2006184, serta salinan lontar Piagem Dukuh Gamongan, milik Ida Pedanda Gede Jelantik Sugata, Griya Tegeh Budakeling, dialih aksara oleh I Wayan Gede Bargawa, halaman 12, secara jelas tertulis Badhahulu. Tapi para alih aksara dan penterjemah lain, sengaja mengganti huruf ”a” awal diganti dengan huruf ”e”, sehingga menimbulkan beda arti dari para pembaca Riana, 2009100,377. Kalau boleh diuraikan kata per kata dalam kalimat. Kata Badhahulu berasal dari bahasa Jawa-Kuno, dari urat kata badha dan hulu. Badha artinya tempat, rumah, istana. Hulu artinya kepala, raja, pusat pemerintahan. Jadi Badhahulu adalah istana raja, pusat pemerintahan, namanya kerajaan Badhahulu dengan rajanya bergelar Sri Astasura Ratna Bumi Banten Asta=delapan, Sura=dewa, Ratna=permata, Bumi Banten=Tanah Bali artinya raja yang membawahi delapan wilayah kekuasaan pemeritahan di jagat Bali pada era itu, yaitu; Jimbaran, Badung, Tabanan, Buleleng, Bangli, Karangasem, Kelungkung, Mengwi Narendra Dev Pandit Shastri, Sejarah Bali Dwipa, 1963. Dalam Salinan lontar Piagem Dukuh Gamongan, menyebutkan secara tersirat, Badhahulu artinya, maka hulu hulu banda desa sajagat Bangsul arti bebas, sebagai kepala/pusat pemerintahan dari masing-masing kepala desa yang ada di bumi Bali pada zaman itu. Dalam salinan lontar Piagem Dukuh Gamongan, Purana Bali Dwipa, Mandala Wisata Samuan Tiga, Blahbatuh, Gianyar, serta Usana Bali, secara tegas menyebutkan bahwa pusat kraton raja patih Sri Jaya Katong, Raja Masula-Masuli sampai Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten terletak di daerah Batahanar istana baru yang diduga kemudian menjadi nama Kabupaten Gianyar. Di Batahanar sekarang tempat ini berdiri sebuah pura dengan nama Pura Samuan Tiga di Desa Bedulu, Gianyar. Orang-orang dari Jawa menyebut Badhahulu kemungkinan beliau tidak tahu nama desa tempat kerajaan Astasura Ratna Bumi Banten, Raja akhir Bali Kuno pada saat itu. Dalam prasasti-prasasti Bali Kuno tidak ditemukan Raja Astasura Ratna Bumi Banten dengan maha patih kerajaan bergelar Kebo Iwa berselisih paham Bedahulu dengan kerajaan Majapahit dengan maha patih kerajaan bergelar Gajah Mada. Secara akal sehat, seandainya memang kerajaan Badhahulu berselisih paham dengan kerajaan Majapahit, mungkinkah Kebo Iwa mau datang ke Jawa? Prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten, secara administratif Senapati mahapatih kerajaan Batahanar pada era itu adalah Senapati Kuturan Makakasir Mabasa Sinom prasasti Langgahan Caka 1259/1337 Masehi. Skema silsilah Sri Karang Buncing, Sri Kbo Iwa misan mindon dengan Sri Astasura Ratna Bumi Banten berasal dari turunan Sri Maha Sidhimantradewa. Sri Kbo Iwa tapeng dada kerajaan Batahanar yang mewilayahi Blahbatuh, desa paling dekat dengan pusat pemerintahan, disamping di bantu oleh para senapati Bali lainnya. Dalam pamancangah dari Bali, setelah wafatnya Mahapatih Kebo Iwa yang kena pangindra jala perangkap oleh Mahapatih Gajah Mada, akhirnya pada tahun 1343 para Arya Majapahit menyerang pulau Bali, yang pada saat itu dijaga oleh para patih kerajaan Bhadahulu antara lain, Ki Pasung Grigis di Tengkulak, Si Gudug Basur di Batur, Si Kala Gemet di Tangkas, Si Girimana di Ularan, Si Tunjung Tutur di Tenganan, Si Tunjung Biru di Tianyar, Ki Tambyak di Jimbaran, Ki Bwahan di Batur, Ki Kopang di Seraya, Ki Walung Singkal di Taro, Ki Agung Pemacekan sebagai Demung …. Penyerangan terbagi menjadi tiga arah yang dibawah pimpinan Mahapatih Gajahmada menuju wilayah Bali Timur dibantu oleh para Patih dan para Arya lainnya mendarat di Tianyar. Arya Damar dan Arya Sentong, Arya Kutawaringin mendarat di Bali Utara. Dan Arya Kenceng, Arya Belog, Arya Pangalasan, Arya Kanuruhan, mendarat di pantai Bali Selatan dan menuju ke Kuta. Tidak diungkapkan dahsyatnya pertempuran pada ketiga wilayah tesebut. Masa transisi pemerintahan dari kerajaan Bhadahulu ke kerajaan Majapahit, dari tahun 1343 sampai tahun 1352 masih terjadi pemberontakan atau dengan kata lain orang-orang Bali Kuno masih melakukan perlawanan. Selama sembilan tahun masa transisi pemerintahan terjadi 30 kali pembrontakan yang menyebar di Pulau Bali. Untuk menengahi atau mengisi kekosongan pemerintahan selama belum ditunjuk raja baru yaitu Sri Kresna Kepakisan, maka diangkatlah seseorang dan diberi anugrah jabatan Kyayi Agung Pasek Gelgel. Yang menjadi pertanyaan, siapakah Kyayi Agung Pasek Gelgel? Mungkinkah beliau berasal dari Jawa untuk menengahi perselisihan antara Bali dan Majapahit? Dalam Kamus Jawa-Kuno oleh Zoetmulder 1995786, kata Pasek berarti, pemberian, anugrah, hadiah. Seandainya Kyayi Agung Pasek Gelgel itu berasal dari Jawa semestinya beliau disebut Arya. Karena beliau berperan penting menjadi pemimpin di dalam menengahi konflik transisi pemerintahan akhir Bali Kuno. Setelah datangnya Danghyang Nirartta, sebutan Arya dikenal menjadi Gusti dan berubah sebutan setelah datangnya penjajahan Belanda. Dengan adanya konsep pemujaan Tuhan melalui Bhatara Hyang Kawitan sehingga banyak orang-orang Bali-Mula masuk dalam satu garis keturunan Warga Pasek, misalnya kubahyan, tangkas, bendesa, karang buncing dan warga Bali Mula lainnya. Warga Bali Mula yang diperlukan wibawanya dalam menjaga stabilitas pemerintahan yang baru disebut arya misalnya, Sri Giri Ularan putra dari Sri Rigis menjadi mahapatih senapati di kerajaan Dalem Baturenggong menjadi Arya Ularan Gusti Ularan, Keturunan Sri Karang Buncing menjadi Arya Karang Buncing, Gusti Karang Buncing. Sri Rigis menjadi Arya Rigis, Sri Pasung Giri menjadi Arya Pasung Giri, Si Tunjung Tutur menjadi Arya Tunjung Tutur, Si Tunjung Biru menjadi Arya Tunjung Biru. Pertanyaan lainnya, apa interelasi spiritual antara Gotra Pasek Kyayi Agung Pasek Gelgel dengan Catur Lawa yaitu 4 empat kelompok tugas yang bertanggung jawab terhadap kelancaran upacara di Pura Penataran Besakih yaitu Dukuh, Pasek, Pande, Penyarikan, mungkinkah beliau-beliau ini keturunan Bali Kuno. Pada era itu sistem pemerintahan ditentukan oleh fungsi bakat dan pekerjaan seseorang bukan ditentukan oleh kelahirannya seperti dalam sistem soroh klen, kasta. Dimana persiapan upacara dan upakara akan dilakukan ditempat di pura mana akan diadakan pujawali, ada bagian yang mengurus tentang surat menyurat, bagian perlengkapan upakara, bagian yang berwenang tentang simbol suci Tuhan atau pendeta yang memimpin upacara dan bagian lainnya. Pasek dalam hal ini bukanlah sebuah treh, soroh, gotra, wangsa, klen kelompok warga. Pasek adalah sebuah istilah, jabatan atau bagian yang bertugas membantu mensukseskan jalannya upakara dan upacara yang ada di Pura Penataran Besakih. Pura Pande menata segala peralatannya yang terbuat dari benda logam dan rangka peralatan lain. Pura Penyarikan bertugas menata segala kebutuhan tata usaha administrasi agar segala sesuatu berjalan dengan teratur Gobyah, I Ketut. Bali Post 30 April 2008. Dalam satu kelompok seksi/tugas tentu anggotanya terdiri dari beberapa orang yang bisa saja berasal dari kelompok warga lain. Istilah Dukuh berasal dari turunan Dukuh Gamongan dari Desa Gamongan, Tiyingtali, Karangasem, yang melahirkan para Dukuh yang ada di jagat Bali. Kemudian ditegaskan kembali oleh Danghyang Nirarta adalah suatu anugrah gelar Dukuh pendeta yang diberikan untuk warga Bali-Mula dan Bali Kuno, walaupun dari keturunan wangsa apa pun mereka. Dukuh adalah sebuah jabatan yang bertugas sebagai pemimpin upacara keagamaan di Pura Besakih. Jadi pendeta Dukuh yang memimpin upacara dan upakara di Bali pada era itu, sebelum datangnya para Brahmana Majapahit dari Jawa. Pada zaman Gelgel datang ke Bali dua pendeta Siwa dan Buddha dari Majapahit ialah Danghyang Nirartha dan Danghyang Astapaka memperkuat hubungan Majapahit dan Bali. Pada waktu itu didirikan pedharman Raja/Dalem Samprangan dan Dalem Gelgel berupa meru-meru terletak di belakang Pura Catur Lawa. Tentunya pendirian pedharman-pedharman itu juga melalui nyadnya craddha. Dr. Martha A. Muuses mengidentifikasikan yadnya craddha dengan upacara mamukur di Bali yaitu upacara mengembalikan atma ke unsur asalnya yakni Paratma. Dengan demikian Pura Catur Lawa merupakan kumpulan orang-orang Bali Mula yang mendapat tugas sebagai cikal bakal untuk ngamong bertanggung jawab terhadap kelancaran upacara di Pura Penataran Besakih, simbol stana suci ida bhatara gunung Agung/Tolangkir. Pura Besakih merupakan lambang satu kesatuan antara Hindu Bali dan Hindu Majapahit. Setelah kalahnya kerajaan Badhahulu oleh kerajaan Majapahit, terjadi dua terapan relegi yang dianut oleh masyarakat Bali saat kini, yaitu adanya sebagian warga atau desa yang mengikuti relegi sejarah Bali Kuno, dan ada sebagian warga atau desa yang mengikuti relegi sejarah Majapahit, bahkan masyarakat bisa menjalani kedua konsep tersebut, mengikuti aturan para pimpinan yang berkuasa pada saat itu. Berikut komparasi antara, yaitu adanya Sugiyan Jawa dan Sugiyan Bali. Dalam Usana Jawa menyebutkan, sisa tentara Majapahit yang masih hidup dan menetap di Bali, sudah mempunyai anak cucu, saling kawin mengawinkan berbaur, silih pinang meminang antara wanita Bali, namun ada tanda-tandanya, jika setiap hari raya Kamis Wage Sungsang yang disebut Sugiyan Jawa, rakyat Majapahit yang mempunyai bagian menyelenggarakan yadnya. Jika setiap hari Jumat Kliwon Sungsang yang disebut Sugiyan Bali, rakyat Bali asli yang mempunyai bagian menyelenggarakan yadnya. Juga adanya tonggak piodalan yang satu mengikuti sasih bulan dan yang satu lagi mengikuti wuku minggu. Acara pamelastian yang satu mengikuti sasih ka sanga bulan ke 9 dan satu lagi mengikuti sasih ka dasa bulan ke 10. Disamping hari penyepian di sawah, di segara, di tegalan, di pura, terdapat perbedaan sesuai dengan dresta desa, kala, patra setempat. Juga dalam acara resi yadnya padiksan dalam pengesahan seorang pendeta, yang satu mengikuti melalui napak wakul bhatara kawitan, dan satu lagi mengikuti napak kaki guru nabe. Semenjak itu juga perlahan-lahan terjadi penataan pemerintahan yang baru, baik dalam bidang agama, sosial, politik, ekonomi, maupun kesusastraan, dan lainnya dalam menyatukan paham Bali Kuno dengan paham Majapahit. Yang dulunya seorang pendeta mewakili sekte/agama yang dianut, walaupun dari kelompok keturunan mana pun beliau, misalnya; dang acharya sebutan pendeta sekte Siwa, dang upadhyaya gelar pendeta untuk sekte Budha, Rsi Bhujangga gelar pendeta sekte Waisnawa, Pitamaha gelar pendeta sekte Brahma, Bhagawan gelar pendeta sekte Bhairawa, dan sebagainya. Sekarang masing-masing kelompok warga diberikan gelar pendeta dan identitas sosial lain dalam kehidupan bermasyarakat, misalnya Dukuh gelar pendeta bagi warga Bali Kuno, Ida Pedanda gelar pendeta bagi warga Ida Bagus, Sri Mpu gelar pendeta bagi warga Pasek, Rsi Bhagawan gelar pendeta untuk warga para Gusti, Rsi Bujangga gelar pendeta bagi warga Sengguhu, Sira Mpu gelar pendeta bagi warga Pande, dan seterusnya, lengkap dengan aturan atiwa-tiwa/pitra yadnya dan atribut lainnya. Pertanyaannya adalah mengikuti paham manakah pendeta para gotra kelompok warga itu, apakah mengikuti paham Siwa, Boddha, Waisnawa, Bhairawa, Sora, Sakta, Sambu, Rsi atau yang lain? Para Arya Majapahit yang telah berjasa didalam menaklukkan rakyat Bali, lalu dicandikan di suatu tempat untuk memuja roh leluhur yang telah suci yang ada di Jawa sebagai penghayatan atau media terdekat dengan leluhur disebut Pura Kawitan stana suci para leluhur. Dalam Kamus Bali-Indonesia Tim 801 menyebutkan kata Kawitan artinya leluhur, asal mula warga, wangsa, treh, gotra. Dengan munculnya konsep penataan pemujaan melalui Bhatara Hyang Kawitan sehingga membawa dampak kebingungan bagi masyarakat Bali Mula untuk menelusuri jejak-jejak para leluhur mereka yang sudah ada sebelum datangnya sang konseptor Danghyang Nirartta dari Jawa. Para Raja dan Ksatria Bali kuno, dan jabatan pemerintah bawahan seperti; para senapati, para pendeta, samgat, caksu, kubayan, Si Tunjung Biru, Si Kalung Singkal, Ki Tambyak, Ki Tunjung Tutur, Ki Kopang, Ki Bwahan, Si Pangeran Tangkas, Ki Pasung Grigis, dan leluhur masyarakat Bali Aga dan Bali Mula yang lain, pada saat kini dimanakah Pura Kawitan beliau-beliau itu? Dan dimanakah Padharman beliau-beliau itu? Dengan adanya reformasi pemerintahan oleh Raja Dalem Baturenggong dengan dibantu pendeta kerajaan Danghyang Nirartta mempunyai konsep yang sangat cemerlang sekali menyatukan warga agar tidak tercerai berai beralih ke agama/sekte/paham lain. Yaitu dengan konsep memuja Tuhan melalui Bhatara Hyang Kawitan. Sesuai dengan sloka Taittiriya Upanisad menyebutkan “Seorang ibu adalah dewa, seorang bapak adalah dewa, seorang guru adalah dewa, dan para tamu pun adalah dewa”. Dengan demikian secara empiris, keturunanya akan memuja Tuhan lewat’ roh suci bapak dan ibu, kakek nenek, leluhur dan seterusnya, yang pada akhirnya akan sampai juga pada Beliau/Tuhan. Para leluhur hanya sebatas menyaksikan dan mengantarkan’ doa, maksud, dan tujuan kepada Tuhan atau kepada dewa yang mesti disampaikan oleh para leluhur kita. Para leluhur adalah asal muasal kita sebagai manusia. Semenjak masih janin dalam kandungan Ibu, kita sudah terhubung dengan-Nya ibu yaitu melalui tali pusar ari-ari. Tali pusar media penghubung kehidupan dalam kandungan antara sang janin dengan sang ibu. Dalam penerapan keagamaan sehari-hari mungkin’ ari-ari tali pusar ini disimbolkan menjadi selempot senteng, karena selalu melekat menutupi tali pusar umat Hindu di Bali dalam setiap menghadap-Nya Selain sebagai pengikat panca budhiindria dan panca karmenindria, simbol mengekang sepuluh lobang yang ada dalam tubuh pada saat seseorang berkehendak melakukan puja dan puji terhadap Tuhan/Hyang Widhi. Walaupun seseorang memakai celana panjang jika sudah memakai senteng/selempot akan diijinkan masuk ke pura. Senteng/selempot hanyalah sebuah simbol dan atau sebuah peraturan. Bukankah sebuah simbol mengandung makna tertentu dibalik simbol-simbol itu. Sama dengan seseorang harus memiliki KTP, Passport, dan identitas lain sebagai simbol pengganti dari seseorang jika ingin mengetahui identitas lebih lengkap tentang dirinya. Demikian juga dengan senteng selempot yang mengandung makna sebagai penghubung ke para leluhur warga, dan para leluhur akan mem-bahasa-kan doa, maksud, dan upacara umat kepada Tuhan/Hyang Widhi. Sesungguhnya kita tidak tahu bahasa apa yang dipakai oleh para dewa dalam berkomunikasi antara dewa dan dewa itu sendiri. …. kira2 demikian sejarah munculnya konsep pemujaan KAWITAN di jagat Bali ini …
DALEMAGRA SAMPRANGAN (1373 M) ( Raja Bali II ) A. Sistem Pemerintahan. Setelah Dalem Kresna Kepakisan wafat maka putra beliau yang tertua yaitu Dalem Sri Agra Samprangan menggantikan beliau menjadi adipati di Bali dan masih berkeraton di Samprangan. Menurut Babad Dalem , Sri Agra Samprangan mempunyai putra : 1.
BEBERAPA KELOMPOK MASYARAKAT YANG MENDIAMI PULAU BALI BERDASARKAN KURUN WAKTU KEDATANGANNYA I. Masyarakat Bali Mula Masyarakat Turunan yang akhirnya menjadi Tarunyan yang sekarang dikenal dengan masyarakat Terunyan dan sekitarnya. II. Masyarakat Bali Aga Mayarakat pengikut Maha Rsi Markandeya yang berasal dari Desa Aga di lereng Gunung Raung Jawa Timur yang di Bali memperkenalkan sistim sawah tadah hujan yang disebut padi gaga masyarakanya kemudian dikenal dengan Masyarakat Bali Aga. III. Masyarakat Bali Kuna Adalah masyarakat keturunan Sri Ksari Warmadewa beserta pengikut-pengikutnya. IV. Masyarakat Warga Pasek seperti Maha Gotra Pasek Sanak Pitu yang menurunkan Warga Pasek, Bandesa dan Dukuh 1. Maha Gotra Pasek Kayu Selem menurukan Warga Pasek Bali 2. Maha Gotra Pande Mpu Gandring Sakti menurunkan Warga Pande V. Masyarakat Majapahit dari Pulau Jawa 1. Ksatrya Sidemen menurunkan Warga Arya Bang Sidemen 2. Ksatrya Dhalem 3. Arya Damar 4. Arya Kutawaringin VI. Masyarakat yang merupakan keturunan Dang Hyang Nirartha 1. Brahmana ZAMAN SETELAH MAJAPAHIT MENGUASAI BALI Putera keempat dari Danghyang Soma Kepakisan atau Mpu Soma Kepakisan di Jawa yang dijuluki Dalem Ketut bergelar abhiseka Ratu Sri Kresna Kepakisan, karena pusat pemerintahan di Samprangan beliau juga dikenal dengan Dalem Samprangan memerintah Bali sebagai Adipati Majapahit tahun 1350-1380 Masehi. PANUGRAHAN “SRI KRESNA KEPAKISAN” KEPADA 1. KI PASEK GELGEL Sabda Dalem “Wahai saudara Pasek Gelgel anugerahku berlaku untuk sterusnya bagi keturunanmu, keturunan saudara bebas dari kewajiban tetegenan, bebas aturan pejah manjing, bebas dari hukuman mati. Bila saudara atau keturunan saudara melakukan kesalahan atau melanggar Undang-Undang sekali, dua kali, tiga kali harus diampuni, bila harus dihukum mati diganti dengan hukuman diusir, demikian anugerahku. Pada kesempatan tersebut juga dianugerahkan “ Dalam pelaksanakan upacara Pitra Yadnya atiwa-tiwa seketurunanmu boleh memakai wadah metumpang bade, tidak dibenarkan memakai tumpang, saya mengambil tumpangnya. Selain tumpang boleh dipakai, seperti Bhoma bersayap dimuka dan dibelakang, kapas sembilan warna, meuncal, mekekitir, mepetulangan Singha, tempat pembakaran mayat bertumpang tiga, mebale lunjuk. Hal ini berlaku apabila pelaksanaan atiwa-tiwa di lingkungan istana, bila di luar istana sesuaikan dengan amanat dari Mpu Ketek”. 2. KI PATIH ULUNG Sri Kresna Kepakisan bersabda kepada putera Mpu Dwidjaksara yang bernama Jiwaksara yang bergelar Ki Patih Ulung “berhubung leluhur Ki Patih Ulung dahulu di tugaskan ke Bali dari Majapahit guna mengatur dan memimpin rakyat Bali pada setiap tempat, namun hingga kini gagal dengan alasan belum adanya Adipati. Akhirnya Majapahit menobatkan saya Sri Kresna Kepakisan sebagai Adipati Majapahit di Bali, oleh karena itu bukannya saya menurunkan derajat saudara namun saudara sendirilah yang menurunkan derajat diri saudara, dahulu saudara adalah Brahmana Wangsa kini menjadi Vaisya Wangsa”. Sejak saat ini pula keturunan Sang Sapta Rsi yang tadinya bergelar Pangeran, I Gusti, Kyayi dan sebagainya tidak boleh lagi menggunakan gelar tersebut dan yang dibolehkan adalah Ki Pasek dan Ki Bandesa”. Latar belakang keluarnya sabda Dalem tersebut adalah karena tahun 1267 Mpu Dwijaksara leluhur dari Jiwaksara yang bergelar Ki Patih Ulung diutus ke Bali oleh Gajah Mada dari Majapahit dengan tujuan untuk mengatur rakyat Bali guna membangun kembali Kahyangan-kahyangan Jagat, Sad Kahyangan dan Kahyangan Tiga. Namun kenyataannya baru berhasil merenovasi bekas Parhyangan Mpu Ghana di Gelgel sebatas bebaturan saja sehingga Pura tersebut disebut Pura Batur Penganggih. Yang kemudian digunakan sebagai tempat pemujaan keturunan Warga Pasek Sapta Rsi. Selain merenovasi bekas Parhyangan sekte Ghanapati, Mpu Dwijaksara juga merenovasi sebuah taman yang disebut Taman Bagendra di Gelgel. PURA DASAR BHWANA GELGEL SEBAGAI PEMUJAAN TRI WARGA Dalem Ketut Ngulesir yang bergelar Abhiseka Ratu Sri Smara Kepakisan dan karena pusat pemerintahan di Gelgel beliau juga dikenal dengan Dalem Gelgel yang pertama. Dalam masa pemerintahan Sri Smara Kepakisan 1380-1460 masehi beliau membangun tempat pemujaan Tri Warga di Pura Batur Penganggih yaitu Warga Pasek, Warga Satrya Dalem dan Warga Pande. Dan status Pura Batur Penganggih ditingkatkan menjadi Pura Kahyangan Jagat yang dinamakan Pura Dasar Bwana Gelgel. SRI SMARA KEPAKISAN DALAM RANGKA MENARIK SIMPATI RAKYAT BALI Guna menarik simpati rakyat Bali Mula, Bali Aga dan Bali Kuna, Sri Smara Kepakisan Putra keempat Sri Kresna Kepakisan menyatakan/menetapkan 1. Pura Dasar Bhwana Gelgel sebagai Pura Pusat Kerajaan seperti Pura Pusering Jagat di zaman Kerajaan Bedulu. 2. Pura Besakih sebagai Pura Kerajaan untuk Seluruh Bali. 3. Mengangkat tokoh-tokoh masyarakan Bali sebelum Majapahit seperti Ki Pasek Gelgel, Lurah Kapandean dari golongan Pande sebagai pejabat Kerajaan. Keturunan Ki Ularan sebagai Tumenggung atau Panglima Perang. 4. Kesenian Jawa Hindu sangat berkembang dan mendesak kesenian Bali sebelumnya. 5. Dalam tata cara pemujaan muncul Parhyangan-Parhyangan atau Pura-Pura yang dijunjung kesungsung oleh satu keluarga/keturunan berdasarkan corak Majapahit namun mendapat pengaruh kepercayaan tentang arwah leluhur masyarakat Bali sebelumnya seperti masyarakat Bali Mula, Bali Aga dan Bali Kuna. Pura-Pura yang dijunjung kesungsung oleh satu keluarga/keturunan/klan guna menghormati arwah leluhur inilah akhirnya dikenal dengan nama PURA KAWITAN. 6. Pura sesungsungan arwah leluhur satu keluarga tersebut adalah merupakan Siwa Lingga, kemudian oleh Dalem diberikan panugerahan seperti Aji Purana Prasasti dan Piagem rikalaning atatiwa mepitra yadnya guna melengkapinya. 7. Untuk mencari dukungan lebih besar Sri Smara Kepakisan pada tanggal 4 Maret 1430 melaksanakan Upacara Sradha besar-besaran di bukit Penulisan guna untuk menghormati wafatnya Raja Bedulu yang bergelar Abhiseka Ratu Sri Astha Sura Ratna Bhumi Banten. KELENGKAPAN KAWITAN SEBAGAI SIWA LINGGA Dalam perjalanan waktu sistem pemujaan arwah leluhur yang kemudian dikenal dengan nama Pura Kawitan terus mengalami penyempurnaan. Seperti dimuat dalam “Prasasti Panamaskaraning para Arya sakyeng Jawi ikang tumedun maring Bali angiring Sira Dalem Chili” drwen Puri Smarapura Smarawijaya Klungkung. Persyaratan suatu wangsa ditandai dengan adanya Tri Sinunggal. Jajaran Pelinggih-Pelinggih Pura Kawitan merupakan Siwa Lingga, Siwa Lingga bermakna tempat melinggastanakan Ida Betahara Siwa, Ida Bethara Siwa dalam hal keleluhuran adalah Sang Hyang Siwa Guru Kemulan dan pengembangannya, Siwa Guru bermakna Guru Rupaka. Yang wajib kesungsung sembah di Pura Kawitan adalah Tri Sinunggal yaitu Aji Purana Prasasti, dimana untuk dapat dikatakan cerdas/lengkap pascat bila dilengkapi Aksara Kepatian bila digunakan oleh keturunannya bernama Surat Kajang serta ada Piagem ketika melaksanakan Pitra Yadnya rikalning atatiwa. Karena Kawitan merupakan asal mula dari suatu Wangsa Apan Kawitan ngaran Wangsa. SISTIM CATUR WANGSA KONSEP DANGHYANG NIRARTHA Tahun isaka 1411/1489M Danghyang Nirartha tiba di Bali ketika pemerintahan Dalem Waturenggong yang berpusat di Gelgel. Dalem Waturenggong memerintah Bali dari tahun isaka 1382/1460M – tahun isaka 1472/1550M, beliau adalah Dalem Gelgel yang ke dua. Danghyang Nirartha yang di lingkungan masyarakyat Bali dikenal dengan nama Pedanda Sakti Wawu Rawuh, namun dikalangan pemerintahan dikenal dengan sebutan Danghyang Dwijendra. Semenjak zaman Danghyang Nirartha sebagai Baghawanta Dhalem Gelgel diberlakukanlah Sistim Catur Wangsa yang pada hakekatnya berdasarkan keturunan atau kelahiran semata-mata. Sistim Catur Wangsa ini semakin lama semakin diperkuat dengan peraturan Pemerintah/Undang-Undang yang dibuat oleh Penguasa demi langgengnya kedudukan/kekuasaan mereka. Danghyang Nirartha ke Bali bersama 7 tujuh putera-puteranya dari 3tiga kali pernikahan, putera-putera Danghyang Nirartha dengan isteri asal Kediri disebut Kamenuh, dari isteri asal Kaniten Pasuruan disebut Manuaba, dari isteri asal Belambangan disebut Kaniten. Di Bali Danghyang Nirartha menikah lagi 2dua kali, dengan adiknya Pangeran Bandesa Mas puteranya disebut Mas dan dengan pembantunya panjroan Bandesa Mas disebut Handapan yang kemudian lebih dikenal dengan Antapan. Putera-putera Danghyang Nirartha inilah diberi gelar Brahmana, kemudian keluarga yang memerintah keluarga Raja disebut Ksatrya dan yang ketiga disebut Weisya. Ketiga golongan tersebut akhirnya mengkultuskan diri yang disebut TRI WANGSA. Kemudian berkembang ada istilah Jro dan Jaba, mereka yang tidak mempunyai jabatan dalam Pemerintahan atau orang-orang di luar Bali Rajya di luar Puri disebut ANAK JABA. Jadi ANAK JABA disini tidak sama dengan SUDRA dalam Sistim Warna di India, oleh karena itu janganlah menyebut diri anak sudra. Dengan demikian maka dari sinilah munculnya istilah CATUR WANGSA yaitu 1. Wangsa Brahmana 2. Wangsa Ksatrya 3. Wangsa Wesya 4. Di luar Tri Wangsa disebut Anak Jaba atau Wangsa Jaba yang bermakna Wangsa di luar yang terlibat dalam pemerintahan. Jadi antara Tri Wangsa dan Jaba hanyalah pembedaan dalam fungsi dan tugas kewajiban kepada negara atau kerajaan. PANUGRAHAN DALEM WATURENGGONG KEPADA KETURUNAN KI PASEK GELGEL Setelah Dalem Waturenggong berhasil menumpas pemberontakan Kyayi Batan Jeruk sekitar tahun isaka 1478/1556M berkat jasa-jasanya Dalem Waturenggong memanggil keturunan Ki Pasek Gelgel seperti Ki Bandesa Tangkas Kori Agung, Ki Gaduh, Ki Ngukuhin, Ki Kubayan, Ki Salahin. Termasuk juga keluarga Pasek Gelgel yang lainnya yang tersebar di seluruh Bali, agar segera menghadap Dalem. Dengan disaksikan oleh para Arya. Berkat panugrahan tersebut maka 1. Ki Bandesa Tangkas Kori Agung, keturunannya kemudian dikenal dengan Wangsa Pasek Bandesa Tangkas Kori Agung. 2. Ki Gaduh, keturunannya kemudian dikenal dengan sebutan Wangsa Pasek Gaduh. 3. Ki Ngukuhin, keturunannya keturunannya kemudian dikenal dengan sebutan Wangsa Pasek Ngukuhin. 4. Ki Kubayan, keturunannya kemudian dikenal dengan sebutan Pasek Kubayan. 5. Ki Salahin, keturunannya kemudian dikenal dengan sebutan Wangsa Pasek Salahin Demikian semua keluarga Ki Pasek Gelgel diberikan gelar kepahlawanan yang disebut dengan Kewangsaan atau Wangsa. Sabda Dalem kepada keluarga Pasek “Hai Pasek sekalian, sampaikan kepada keluarga Pasek semua bahwa saudara-saudara ini sangat cinta dan bakti kepadaku, seperti halnya leluhurmu yang menyebabkan saya dan para leluhurku tetap menjadi Dalem di Bali”. Dengan ini saya memberikan panugreahan Amanat “Bahwa saudara-saudara tidak boleh dijatuhi hukuman mati, harta benda saudara tidak boleh dirampas oleh Dalem, tidak boleh dipermainkan. Jika berbuat kesalahan yang semestinya dihukum mati diganti dengan hukuman pembuangan selama satu bulan dan seterusnya”. Dalam hal atiwa-tiwa Pitra Yadnya mayat harus dibungkus daun pisang kaikik, bagi yang sudah menjadi Pandita usungan mayat diperbolehkan menggunakan Padma, petulangannya lembu putih. Yang masih welaka boleh mebade tumpang pitu petulangannya lembu cemeng dan seterusnya. IDENTITAS TERKAIT WANGSA CELUK SESUAI AJI PURANA PRASASTI Sebagai Çiwa Lingga bagi Wangsa Celuk yang jajaran Pelinggih-Pelinggihnya sesuai dengan yang tersurat dalam 5 Cakep Lontar Babad Celuk dipugar, direnovasi dan dilengkapi menjadi ekadasa lingga oleh I Gusti Mangku Rat keturunan I Gusti Celuk generasi kesepuluh/undag kaping 10. Lokasinya di sebelah utara Pura Purusada Loring Pura Purusada di tempat mana roh suci Ida Bethara Kawitan dilinggastanakan pada zaman Ki Gusti Tangkeban generasi ketiga/undag kaping 3. Aji Purana Prasasti bagi Wangsa Celuk di muka bhumi ring jana loka merupakan panugerahan dari Dhalem Pemayun Raden Pangarsa yang juga dikenal dengan Dhalem Bekung beliau adalah putera dari Dhalem Waturenggong. Kajang Kawitan atau Kajang Kulit adalah bagian yang tak terpisahkan dari Aji Purana Prasasti. Bagi Wangsa Celuk Kajang Kawitan yang dimiliki merupakan penugerahan dari Hyang Prama Kawi kepada Ki Gusti Putu Rasa di pantai Tulamben Tianyar. Beginilah sebagai tanda keutamaan yang disebut dengan Çiwa Lingga wujudnya/ditulis dalam aksara kepatian. Bhisama Ki Gusti Putu Rasa kepada keturunan Wangsa Celuk Trah Arya Kepakisan, janganlah membicarakan penugerahan ini jika bukan pada tempatnya hingga kelak dikemudian hari. Ki Gusti Putu Rasa adalah keturunan I Gusti Celuk Ida Bethara Kawitan generasi ke sepuluh/undag kaping 10. Surat Kajang Kawitan terdiri dari lima lembar yaitu Ulon, Aksara Kepatian, Recadana, Krebsari Rurug dan Kalasa. Piagem yang merupakan panugerahan Dhalem Pemayun kepada Wangsa Celuk ketika pratisantana Wangsa Celuk melaksanakan acara Atatiwa/Atiwa-tiwa/Pitra Yadnya. Isi panugerahan dalam Piagem secara singkat demikian “Rikalaning atatiwa turunaira Ki Gusti Celuk trah Arya Kepakisan wenang mebade tumpang pitu, mepetulangan Singha atawa Gajahmina, medamar kurung, metumpang salu…..” dan seterusnya. KESIMPULAN Kawitan Wangsa atau Kawitan suatu wangsa/soroh/klan adalah suatu gelar panugerahan Dhalem atau Raja yang diberikan kepada seseorang dari suatu keluarga atau keturunannya berkat jasa-jasa yang dilakukan oleh leluhurnya terhadap penguasa pada zaman kerajaan Bali. Yang distanakan di Pura Kawitan adalah Ida Bethara Kawitan yang merupakan Kawitan/asal mula dari Wangsa tersebut. Sementara yang distanakan di Pura Pedharman atau Pelinggih Pedharman adalah Leluhur tertentu termasuk Ida Betahara Kawitan yang mempunyai jasa luar biasa menurut penilaian pemberi penugrahan. Sumber pustaka Salinan berbagai lontar koleksi Gedong Kertya Singaraja Kliping Koran Denpost 11 Nopember 2002 halaman 8 rubrik Babag oleh Jro Mangku Gde Ktut Soebandi Salinan Prasasti druwen Puri Smarapura Smara Wijaya Klungkung “Panamaskaraning Para Arya saking Jawi tumekeng Bali kang angiring Dhalem Chili”. Bali dalam Lintasan waktu Sejarah Politik Bali dari abad 10 sampai dengan pendudukan Kolonial Belanda oleh I Md Dwi Putra Sanjaya, MIB 8 April 2003. ONG…_/\_ Terkaitpenggunaan nama oleh warga bali, ada hal yang harus diperhatikan. Pemakaian nama tersebut tidak dilakukan secara sembarangan. Mereka mempunyai tradisi untuk setiap nama anak. Ada 3 faktor yang memengaruhi nama yang disematkan pada seorang anak, yakni jenis kelamin, kasta, serta urutan kelahiran. Apakah Ibu termasuk yang mencari kumpulan nama bayi khas Bali?Banyak yang tertarik memberi nama si kecil dengan nama bayi Bali perempuan atau nama bayi Bali laki-laki sebab nama tersebut kaya makna dan sering terdengar sangat Indonesia sekaligus memiliki arti yang bagus. Nama bayi Bali perempuan dan nama bayi Bali laki-laki sering mengingatkan kita tentang masa kejayaan kerajaan-kerajaan kuno di masa lampau serta filosofi hidup nenek moyang. Tak heran banyak yang ingin menamakan si kecil menggunakan nama bayi Bali perempuan dan nama bayi Bali mencari inspirasi kumpulan nama bayi khas Bali? Simak daftarnya di bawah ini!Kumpulan nama bayi khas Bali laki-laki A-C1. Abipraya bermakna rencana dan kehendak2. Abirama bermakna indah3. Abra bermakna bagus4. Acep bermakna mengharap5. Adnya bermakna perintah6. Adnyana bermakna cahaya7. Adi bermakna adik8. Adhi bermakna mulia9. Aditya bermakna matahari10. Adhyaya bermakna pelajaran11. Adri bermakna gunung12. Agastya bermakna nama Maha Raja dari India yang tinggal di Indonesia13. Ageng bermakna besar14. Agung bermakna besar dan tinggi15. Agra bermakna puncak atau ujung16. Aiswaryan bermakna kewibawaan17. Aji bermakna ayah18. Aksa bermakna mata19. Alit bermakna kecil20. Ambara bermakna langit21. Amerta bermakna hidup22. Anuraga bermakna dicintai23. Arga bermakna harga24. Arsa bermakna ingin25. Bli Panggilan untuk anak lelaki yang lebih Bagus Baik atau Bagja Bahagia dan sejahtera28. Basudewa Nama lain dari Dewa Barata Pria yang Bayu Lelaki yang penuh Bhasma Tanda suci yang diletakkan pada Bimasena Panglima yang Bimantara Bagaikan Bujangga Pemuja pada Cemara bermakna pohon cemara36. Caya bermakna cahaya37. Cakra bermakna nama senjata dewa wisnu38. Catur Chandra Citaprasada Mendapatkan Cokorda Sebutan untuk anak keturunan Cudamani Permata yang nama bayi khas Bali laki-laki D-G43. Dani Seorang Daya Seseorang yang penuh kasih Dharmesta Anak yang Diatmika Ilmu Dwipa Damun bermakna emun49. Daraka bermakna Teguh50. Dhiana bermakna pemusatan pikiran51. Diaksa bermakna ahli52. Destha bermakna bulan Mei53. Dasawara bermakna anak yang suka kebersihan54. Garjita bermakna gembira55. Galang bermakna cerah56. Ganesh Jalan penghidupan, merdeka, bahagia, dan Gautama Pekerjaan yang Gde Panggilan untuk anak Gede Anak paling nama bayi khas Bali laki-laki H-K60. Harinda Cemerlang61. Hita bermakna baik62. Indra Lelaki yang Irawan Nama dari putra Kabinawa bermakna luar biasa65. Kusuma bermakna bungaKumpulan nama bayi khas Bali laki-laki M-Z66. Manacika bermakna pikiran67. Madeem bermakna khidmat, hormat, santun, setia, atau mengabdi68. Praba bermakna sinar69. Rahina bermakna hari atau siang hari70. Saniscara bermakna sabtu71. Sukra bermakna jumat72. Soma bermakna senin73. Wicaksana bermakna bijaksana74. Wisesa bermakna sakti75. Weraspati bermakna kamisKumpulan nama bayi khas Bali perempuan A-C1. Adisri dewi Agni Agniya anak Agya perintah Aishwarya kaya dan Amerta Anamika berbudi Anandamayi penuh Anandini menyenangkan Anila Anis Anjani Aratrika lampu yang memberikan penerangan di bawah Ariti Ascarya tampil ke Aslesha sebuah Astika Bhagwanti Candira Chandani sebuah Chandini cahaya Chandrani permaisuri Charushela karakter atau kepribadian yang Charvi wanita nama bayi khas Bali perempuan D-K25. Damayanti Devangana dewi Devi dewi Devika dewi Dishita Diva siang Divija seseorang yang lahir untuk melakukan hal-hal Divya kilau ilahi yang Drisana putri Dyuthi seseorang seterang Harini Hiranya Ila wanita dari Inas Ishani Jevitha Kaivalya Kalinda Kamini Kanthi ringan atau Karvi Kashi Kira sinar Kunala teratai Kusumina nama bayi khas Bali perempuan L-R50. Laksmi dewi Lalita menyenangkan dan Lavanya Malini Manishita Manisyah Mekala tahu Mohana cantik dan Naima Nalika Nandini Neela biru Nehal gadis yang Nikita kemenangan atau tak Nimi Nisha Nivriti kesenangan atau kegembiraan Pramila nama salah satu istri Pratishta mapan dan Priya Risha Rukma semurni Rukmini istri dewa nama bayi khas Bali perempuan S-Z73. Sachi istri yang Sadhana Sanya terkemuka atau Saraswati dewi Shambhavi baik dan gemar Sharmila senang dan Shashikala cahaya Shivakari hal-hal yang Shresthi terbaik atau Sitara bintang Smita tersenyum Sridevi dewi Suci Susma wanita Swadha kekuatan diri atau Swasti sumber dari segala Sweta berkulit Tanusri Tara Tatya Trisha Varenya Vela Vennya Vibha sinar cahaya, keindahan, atau Vivian penuh arti Vrinda Widya pengetahuan atau kumpulan nama bayi khas Bali yang dapat menjadi inspirasi Ibu dan pasangan dalam memberikan nama si kecil. Tibadi Bali pada masa pemerintahan (suami-istri) Udayana Warmadewa dan Gunapraya Gharmapatni yang berkuasa dan memerintah Bali pada tahun Caka 910 sampai tahun Saka 933 (tahun 988-1011 Masehi). Klungkung yang diberi nama Semara Pura yang memunyai makna "tempat cinta kasih dan keindahan". Di puri inilah terdapat kompleks Kertagosa yang

NamaKeturunan Purusa Bali (Soroh/Garis Keturunan Hindu)-SOROH BALI SILSILAH NAMA KETURUNAN PURUSA VERSI BALI. (diatas kawitan) maka kita tidak lagi disebut bapak, karena sudah menyatu dengan Tuhan (manifestasi Prajepati), yang artinya dijaman itu kita sudah diupacarai, sudah pasti dianggap kawitan luluhur atau Tuhan. Woh jadi tau deh

wIkV.
  • 08sc94j1hx.pages.dev/86
  • 08sc94j1hx.pages.dev/268
  • 08sc94j1hx.pages.dev/340
  • 08sc94j1hx.pages.dev/574
  • 08sc94j1hx.pages.dev/163
  • 08sc94j1hx.pages.dev/89
  • 08sc94j1hx.pages.dev/595
  • 08sc94j1hx.pages.dev/379
  • nama nama kawitan di bali