Padakesempatan kali ini artikel yang kami sajikan mengupas tentang kehidupan sosial - politik kerajaan Pajajaran. Bermula dari kehidupan masyarakat pajajaran pada saat itu yang beragam profesi, hingga raja-raja yang memerintah di kerajaan Pajajaran, puncak keemasan kerajaan Pajajaran sampai keruntuhan kerajaan Pajajaran.

Representasi kehidupan orang Sunda dalam drama “Tukang Asahan” karya alm. Wahyu Wibisana dalam acara Pidangan Budaya Rumawat Padjadjaran di Grha Sanusi Hardjadinata Unpad, Jalan Dipati Ukur No. 35, Bandung, 30 April 2012. Foto Tedi Yusup* [ Representasi politik Sunda di tingkat nasional cenderung rendah jika dibandingkan dengan wilayah Jawa bagian tengah dan timur. Hal ini disebabkan adanya perbedaan pola masyarakat Sunda dengan Jawa yang sudah tercirikan sejak zaman dahulu. Dosen Antropologi Universitas Padjadjaran Dr. Budi Rajab, menjelaskan, struktur masyarakat Jawa bagian tengah dan timur cenderung memusat. Salah satu yang melatarbelakanginya adalah pola mata pencaharian masyarakat yang cenderung sebagai petani di sawah. “Masyarakat petani sawah dalam satuan politik masyarakat dunia biasanya muncul satu kekuatan besar yang menyatukan. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur kita mengenal kerajaan besar Mataram Kuno sampai Majapahit,” kata Budi dalam Webinar Politik Sunda Relasi Kuasa dan Kepemimpinan yang digelar Pusat Studi Politik dan Demokrasi Unpad, Senin 10/5 lalu. Budi menuturkan, ciri masyarakat persawahan adalah mampu terkonsentrasi sehingga bisa disentralisasikan oleh satu kekuatan besar. Hal ini berbeda dengan kondisi masyarakat Sunda yang cenderung sebagai peladang. Dengan perbedaan kondisi sosial ini, kata Budi, masyarakat Sunda lebih punya kekuatan yang bersifat lokal. Kekuasaan terbagi secara lokal di beberapa wilayah. Budi menjelaskan, meskipun Sunda juga memiliki kerajaan besar, pola kekuasaannya tidak menganut sistem imperium, layaknya kerajaan besar di Jawa. Kepemimpinan kerajaan Sunda lebih terfokus pada penataan masyarakat ke dalam, bukan penaklukan keluar wilayah. “Kekuatan besar yang mampu menjatuhkan masyarakat itu tidak ada di Sunda, sehingga satuan politiknya lebih bersifat lokal,” tutur Budi. Hingga saat ini, representasi politik Sunda masih rendah secara nasional. Padahal, kata Budi, orang Sunda kecenderungannya lebih punya visi politik yang populis. Hanya saja, orientasinya lebih lokal, tidak kosmopolitan. “Konsekuensinya, politiknya kepemimpinan Sunda memang sulit berbicara pada tingkat nasional karena orientasi kepemimpinannya lebih tetap bersifat lokal, tidak luas atau kosmopolis. Populis, tetapi orang Sunda tidak bisa membangun kekuatan populis yang kosmopolis,” papar Budi. Sementara itu, Dosen Psikologi Unpad Dr. Yus Nugraha, mengatakan, nilai-nilai kesundaan menjadi modal bagi orang Sunda untuk bisa menjadi pemimpin. Nilai-nilai seperti cageur, bener, bageur, pinter, dan singer merupakan nilai jati diri Sunda yang mampu memberikan sumbangsih bagi pembangunan karakter bangsa. Webinar tersebut juga menghadirkan dua pembicara lainnya, yaitu perwakilan Badan Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat Ani Rostiyati dan Dosen Ilmu Politik Unpad Dr. Husin Al-Banjari,
KerajaanSunda Meliputi Sejarah, Kehidupan Politik, Kehidupan Kebudayaan, Raja - Raja dan Peninggalannya Secara Lengkap By Admin June 12, 2020 Post a Comment Di wilayah Jawa Barat muncul Kerajaan Sunda yang diduga merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tarumanegara yang runtuh pada abad ke-7.
- Linggawarman adalah raja terakhir dari Kerajaan Tarumanegara yang memerintah antara 666-669. Masa pemerintahannya yang singkat, yakni selama tiga tahun, menandai akhir dari Kerajaan Tarumanegara yang berdiri sejak abad ke-4. Setelah Linggawarman wafat pada 669, takhta Tarumanegara jatuh ke tangan menantunya, yang membuat kerajaan terpecah menjadi sejarah singkat kehidupan Raja Linggawarman. Baca juga Kerajaan Tarumanegara Raja-raja, Puncak Kejayaan, dan Peninggalan Siapa Raja Linggawarman? Linggawarman adalah raja ke-12 dari Kerajaan Tarumanegara yang naik takhta pada tahun 666. Ketika menikahi Dewi Ganggasari dari Indraprahasta di Cirebon, Linggawarman mempunyai dua putri, yakni Dewi Manasih dan Sobakancana. Dewi Manasih dipersunting oleh Tarusbawa dari Sunda, sementara Sobakancana dinikahi oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa, pendiri Kerajaan Sriwijaya. Pada masa pemerintahan Linggawarman, Kerajaan Tarumanegara telah mengalami kemunduran. Linggawarman meninggal pada tahun 669 tanpa memiliki putra mahkota yang akan mewarisi takhtanya. Karena itu, takhta Tarumanegara jatuh ke tangan Tarusbawa, suami dari putri sulung Linggawarman. Baca juga 7 Prasasti Peninggalan Kerajaan Tarumanegara Melansir laman resmi Disparbud Kota Bekasi, Tarusbawa berasal dari Dayeuh Sundasembawa sebutan Bekasi tempo dulu. Pergantian kekuasaan ternyata menandai akhir dari Kerajaan Tarumanegara, karena Tarusbawa lebih menginginkan untuk memerintah dari Sunda, yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Tarumanegara. Keputusan itu menimbulkan gejolak yang menjadi penyebab runtuhnya Kerajaan Tarumanegara. Pasalnya, Wretikandayun memanfaatkan momen tersebut untuk melepaskan diri dari Tarumanegara. Wretikandayun adalah cicit dari Suryawarman, raja Tarumanegara periode 535-561, yang menjadi penguasa Kerajaan Galuh. Pengalihan kekuasaan ke Kerajaan Sunda membuat Wretikandayun tidak sepakat dan memutuskan untuk memisahkan diri. Baca juga Kehidupan Politik Kerajaan Tarumanegara Pada akhirnya, sepeninggal Linggawarman, wilayah bekas Kerajaan Tarumanegara dibagi menjadi dua kekuasaan, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai pembatasnya. Wilayah Kerajaan Sunda yang diperintah oleh Tarusbawa berada di sebelah barat Sungai Citarum. Sedangkan Kerajaan Galuh berada di bawah pemerintahan Wretikandayun memiliki wilayah di sebelah timur Sungai Citarum. Referensi Darmawan, Joko dan Rita Wigira Astuti. 2018. Sandyakala Kejayaan & Kemashyuran Kerajaan Nusantara. Ponorogo Uwais Inspirasi Indonesia. Miswati, Woro. 2011. Kerajaan-Kerajaan Nusantara. Jakarta Be Champion. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Andasekarang sudah mengetahui Sistem Kehidupan Sosial dan Ekonomi Masyarakat Kerajaan Sunda dan Pajajaran. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber. Referensi : Suwito, T. 2009. Sejarah : Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA) Kelas XI. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, p. 368.
Di wilayah Jawa Barat muncul Kerajaan Sunda yang diduga merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tarumanegara yang runtuh pada abad ke-7. Berita munculnya Kerajaan Sunda dapat diketahui dari Prasasti Canggal yang ditemukan di Gunung Wukir, Jawa Tengah berangka tahun 732 M. Prasasti dan Kitab tentang Kerajaan Sunda Dalam Prasasti Canggal disebutkan bahwa Sanjaya telah mendirikan tempat pemujaan di Kunjarakunja daerah Wukir. Ia adalah anak Sanaha, saudara perempuan Raja Sanna. Dalam Kitab Carita Parahyangan, dinyatakan bahwa Sanjaya adalah anak Raja Sena yang berkuasa di Kerajaan Galuh Sekarang Ciamis. Suatu ketika terjadi perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Rahyang Purbasora, saudara seibu dengan Raja Sena. Raja Sena berhasil dikalahkan dan melarikan diri ke Gunung Merapi beserta keluarganya. Selanjutnya Sanjaya, putra Sanaha berkuasa di Galuh. Beberapa waktu kemudian, Sanjaya pindah ke Jawa Tengah menjadi raja di Mataram, sedangkan Sunda dan Galuh diserahkan kepada putranya Rahyang Tamperan. Sampai sekarang para ahli masih berbeda pendapat mengenai keterkaitan antara tokoh Sanna dan Sanjaya di dalam Prasasti Canggal dengan Raja Sena dan Sanjaya di dalam kitab Carita Parahyangan. Kehidupan Politik Kerajaan Sunda Dalam waktu yang cukup lama tidak dapat diketahui perkembangan keadaan Kerajaan Sunda selanjutnya. Kerajaan Sunda baru muncul kembali pada abad ke-11 1030 ketika di bawah pemerintahan Maharaja Sri Jayabhupati. Nama Maharaja Sri Jayabhupati terdapat pada Prasasti Sanghyang Tapak yang ditemukan di Pancalikan dan Bantarmuncang di tepi sungai Citatih, Cibadak, Sukabumi. Prasasti itu berangka tahun 952 Saka 1030 M, berbahasa Jawa kuno, dengan huruf Kawi. Isinya antara lain menyebutkan bahwa Maharaja Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti Samararijaya Sakalabhuwanamandalesrananindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa berkuasa di Prahajyan Sunda. Prasasti Sanghyang Tapan juga berisi pembuatan daerah terlarang di sebelah timur Sanghyang Tapak Daerah itu berupa sebagian dari sungai, yang ditandai dengan batu besar di bagian hulu dan hilir oleh Raja Jayabhupati penguasa Kerajaan Sunda. Di daerah larangan itu, orang tidak boleh menangkap ikan dan segala hewan yang hidup di sungai tersebut. Siapa yang berani melanggar larangan itu, ia akan dikutuk oleh dewa. Ia terkena kutukan yang mengerikan, yakni akan terbelah kepalanya, terminum darahnya dan terpotong-potong ususnya. Tujuannya, mungkin untuk menjaga kelestarian lingkungan agar ikan dan binatang lainnya tidak punah. Berdasarkan gelar yang digunakannya, menunjukkan adanya kesamaan dengan gelar Airlangga di Jawa Timur. Selain itu, masa pemerintahannya juga bersamaan. Ada dugaan bahwa di antara kedua kerajaan itu ada hubungan atau pengaruh. Namun, Sri Jayabhupati menegaskan bahwa dirinya sebagai Haji ri Sunda Raja di Sunda. Dengan demikian jelas, bahwa Jayabhupati bukan merupakan raja bawahan Airlangga. Pada masa pemerintahan Sri Jayabhuptai, pusat kerajaan Sunda ialah Pakwan Pajajaran. Akan tetapi tidak lama kemudian pusat kerajaanya dipindahkan ke Kawali daerah Cirebon sekarang. Kawali dekat dengan Galuh, yakni pusat Kerajaan Sunda masa Sanjaya. Agama yang dianut Sri Jayabhupati ialah Hindu aliran Wisnu atau Hindu Waisnawa. Hal ini dapat diketahui dari gelarnya yaitu Wisnumurti Agama yang sama juga dianut oleh Airlangga. Dengan demikian ada kemungkinan bahwa pada abad ke-11 agama yang berkembang di Jawa adalah Hindu Waisnawa. Setelah masa pemerintahan Jayabhupati, pada tahun 1350 yang menjadi raja di kerajaan Sunda adalah Prabu Maharaja. Ia mempunyai seorang putri bernama Dyah Pitaloka. Putri itu akan dijadikan istri oleh Raja Majapahit, Hayam Wuruk. Raja Sunda bersama para pengiringnya datang ke Majaphit mengantarkan putrinya untuk menikah. Akan tetapi, Gajah Mada menginginkan agar putri itu dipersembahkan sebagai tanda takluk. Akhirnya timbul perang. Gajah Mada ingin memaksanakan kehendaknya, sebab Kerajaan Sunda adalah satu-satunya kerajaan yang belum tunduk di bawak kekuasaan Majapahit. Ini berarti, Sumpah Palapa tidak bisa terwujud sepenuhnya. Kebetulan, Raja Sunda datang untuk menikahkan putrinya dengan Hayam Wuruk. Ini adalah kesempatan yang baik untuk menaklukkan Sunda. Prabu Maharaja berperang melawan tentara Majapahit yang dipimpin Gajah Mada di daerah Bubat pada tahun 1357. Kekuatan tentara Sunda tidak seimbang dengan kekuatan tentara Gajah Mada. Dalam pertempuran itu, Raja Sunda bersama para pengiringnya terbunuh. Kematian Raja Sunda dan pengiringnya membuat Raja Hayam Wuruk merah besar kepada Gajah Mada. Gajah Mada kemudian diberhentikan sebagai Maha Patih Majapahit, sejak itulah hubungan antara Hayam Wuruk dan Gajah Mada retak. Prabu Maharaja digantikan oleh putranya yang bernama Rahyang Niskala Wastu Kancana. Menurut kitab Carita Parahyangan, pada waktu terjadi peristiwa Bubat, Wastu Kancana baru berumur 5 tahun. Ia tidak ikut ke Majapahit, karena itu selamat dari kematian. Dalam pemerintahan, Wastu Kancana diwakili oleh Rahyang Bunisora yang berlangsung sekitar 14 tahun 1357-1371. Setelah naik takhta, Wastu Kancana sangat memerhatikan kesejahteraan rakyatnya. Ia memerintah sesuai dengan undang-undang, dan taat pada agamanya. Oleh karenanya, kerajaan aman dan makmur. Masa pemerintahan Wastu Kancana cukup lama 1371-1471. Pengganti Wastu Kancana adalah Tohaan di Galuh atau Rahyang Ningrat Kancana. Ia memegang pemerintahan selama tujuh tahun 1471-1478. Setelah itu, Kerajaan Sunda berada di bawah pemerintahan Sang Ratu Jayadewata 1482-1521. Pada prasasti Kebantenan, Jayadewata disebut sebagai Susuhunan di Pakwan Pajajaran. Pada prasasti Batutulis, Sang Ratu Jayadewata disebut dengan nama Sri Baduga Maharaja. Ia adalah putra Ningrat Kancana. Di bawah pemerintahan Sang Ratu Jayadewata, Kerajaan Sunda mencapai puncak kejayaannya. Ia membuat sebuah telaga yang diberi nama Telaga Rena Mahawijaya. Ia juga memerintahkan membuat parit di sekeliling ibukota kerajaan yang bernama Pakwan Pajajaran. Raja Sri Baduga memerintah berdasarkan kitab hukum yang berlaku saat itu, sehingga kerajaan menjadi aman, tenteram dan sejahtera. Sang Ratu Jayadewata, telah memperhitungkan adanya pengaruh Islam yang makin meluas di Kerajaan Sunda. Untuk mengantisipasinya, Sang Ratu menjalin hubungan dengan Portugis di Malaka. Dari berita Portugis, dapat diperoleh keterangan bahwa pada tahun 1512 dan 1521, Ratu Samiam dari Kerajaan Sunda memimpin perutusan ke Malaka untuk mencari sekutu. Pada waktu itu, Malaka telah berada di bawah kekuasaan Portugis. Salinan gambar prasasti Batu Tulis dari buku The Sunda Kingdom of West Java From Tarumanagara to Pakuan Pajajaran with the Royal Center of Bogor Pada tahun 1522, perutusan Portugis di bawah pimpinan Hendrik de Leme datang ke Kerajaan Sunda. Pada waktu itu, Kerajaan Sunda berada di bawah pemerintahan Ratu Samiam. Ratu Samiam menurut para ahli sama dengan Prabu Surawisesa yang disebut dalam kitab Carita Parahyangan. Masa pemerintahannya berlangsung dari tahun 1521 -1535. Jika hal itu benar, pada waktu ia memimpin perutusan ke Malaka, Surawisesa Ratu Samiam masih putra mahkota. Pada masa pemerintahannya, terjadi serangan tentara Islam, di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin dari Kerajaan Banten. Beberapa kali tentara Islam berusaha merebut ibukota Kerajaan Sunda, tetapi belum berhasil. Pada tahun 1527, Sunda Kelapa yang merupakan pelabuhan terbesar Kerajaan Sunda jatuh ke tangan tentara Islam. Akibatnya, hubungan pusat Kerajaan Sunda di pedalaman dengan daerah luar terputus. Satu persatu, pelabuhan Kerajaan Sunda jatuh ke tangan kekuasaan Kerajaan Banten, sehingga raja Sunda terpaksa bertahan di pedalaman. Prabu Surawisesa digantikan oleh Prabu Ratu Dewata 1535 -1543. Kerajaan Sunda hanya bertahan di pedalaman. Pada masa itu, sering terjadi serangan terhadap Kerajaan Sunda dari Kerajaan Banten. Hal ini sesuai dengan kitab Purwaka Caruban Nagari, berkaitan dengan sejarah Cirebon. Dalam naskah tersebut, dinyatakan bahwa pada abad ke-15 di Cirebon telah berdiri perguruan Islam, jauh sebelum Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati berdakwah menyebarkan agama Islam. Ratu Dewata kemudian digantikan oleh Sang Ratu Saksi 1543-1551. Ia seorang raja yang kejam dan senang berfoya-foya. Ratu Saksi, kemudian digantikan oleh Tohaan di Majaya 1551-1567. Ia juga seorang raja yang suka berfoya-foya dan mabuk-mabukan. Raja terakhir kerajaan Sunda ialah Nusiya Mulya. Kerajaan Sunda sudah lemah sekali sehingga tidak mampu bertahan dari serangan tentara Islam dari Banten, dan runtuhlah Kerajaan Sunda di Jawa Barat. Kehidupan Sosial Ekonomi Kerajaan Sunda Berdasarkan kitab Sanghyang Siksakandang Karesian, kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Sunda dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, antara lain sebagai berikut 1. Kelompok Rohani dan Cendekiawan Kerajaan Sunda Kelompok rohani dan cendekiawan adalah kelompok masyarakat yang mempunyai kemampuan di bidang tertentu. Misalnya, brahmana yang mengetahui berbagai macam mantra, pratanda yang mengetahui berbagai macam tingkat dan kehidupan keagamaan, dan janggan yang mengetahui berbagai macam pemujaan, memen yang mengetahui berbagai macam cerita, paraguna mengetahui berbagai macam lagu atau nyanyian, dan prepatun yang memiliki berbagai macam cerita pantun. 2. Kelompok Aparat Pemerintah Kerajaan Sunda Kelompok masyarakat sebagai alat pemerintah negara, misalnya bhayangkara bertugas menjaga keamanan, prajurit tentara, hulu jurit kepala prajurit. 3. Kelompok Ekonomi Kerajaan Sunda Kelompok ekonomi adalah orang-orang yang melakukan kegiatan ekonomi. Misalnya, juru lukis pelukis, pande mas perajin emas, pande dang pembuat perabot rumah tangga, pesawah petani, dan palika nelayan. Pada masa kekuasaan raja-raja Sunda, kehidupan sosial ekonomi masyarakat cukup mendapatkan perhatian. Meskipun pusat kekuasan Kerajaan Sunda berada di pedalaman, namun hubungan dagang dengan daerah atau bangsa lain berjalan baik. Kerajaan Sunda memiliki pelabuhanpelabuhan penting, seperti Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Sunda kelapa, dan Cimanuk. Di kota-kota pelabuhan tersebut diperdagangkan lada, beras, sayur-sayuran, buah-buahan, dan hewan piaraan. Di samping kegiatan perdagangan, pertanian merupakan kegiatan mayoritas rakyat Sunda. Berdasarkan kitab Carita Parahyangan dapat diketahui bahwa kehidupan ekonomi masyarakat Kerajaan Sunda umumnya bertani, khususnya berladang berhuma. Misalnya, pahuma paladang, panggerek pemburu, dan penyadap. Ketiganya merupakan jenis pekerjaan di ladang. Aktivitas berladang memiliki ciri kehidupan selalu berpindah-pindah. Hal ini menjadi salah satu bagian dari tradisi sosial Kerajaan Sunda yang dibuktikan dengan sering pindahnya pusat Kerajaan Sunda. Kehidupan Masyarakat Kerajaan Sriwijaya Kehidupan Budaya Kerajaan Sunda Kehidupan masyarakat Kerajaan Sunda adalah peladang, sehingga sering berpindah-pindah. Oleh karena itu, Kerajaan Sunda tidak banyak meninggalkan bangunan yang permanen, seperti keraton, candi atau prasasti. Candi yang paling dikenal dari Kerajaan Sunda adalah Candi Cangkuang yang berada di Leles, Garut, Jawa Barat. Hasil budaya masyarakat Kerajaan Sunda yang lain berupa karya sastra, baik tulis maupun lisan. Bentuk sastra tulis, misalnya Carita Parahyangan; sedangkan bentuk satra lisan berupa pantun, seperti Haturwangi dan Siliwangi. Anda telah membaca artikel tentang "Kehidupan Masyarakat Kerajaan Sunda" yang telah dipublikasikan oleh Ruang Pintar. Semoga menambah wawasan dan bermanfaat.
Quiperrian itulah tadi pembahasan sejarah tentang kerajaan Sunda tentang peninggalan, letak (geografis), prasasti, pendiri, raja, masa kejayaan, silsilah kerajaan, sistem pemerintahan, kehidupan politik, kehidupan ekonomi, dan masa keruntuhan. Belajar sejarah itu sebenarnya asyik kok, asalkan penyampaian materinya juga menyenangkan.
- Kerajaan Sunda-Galuh atau Pajajaran merupakan penyatuan dua kerajaan yang pernah menancapkan kekuasaannya dari abad ke-8 hingga ke-16 Masehi. Sejarah berdirinya dua kerajaan di tanah Sunda Jawa Barat ini tidak terlepas dari naskah kuno Carita Parahiyangan yang ditulis abad ke-16 M. Dua kerajaan ini merupakan pecahan Kerajaan Tarumanegara. Ini merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang menguasai telatah Sunda pada abad ke-5 hingga runtuh pada abad ke-7. Tarumanegara adalah kerajaan yang menganut agama Hindu beraliran Tarumanegara tamat pada sekitar tahun 650 M lantaran serbuan dari Kerajaan Sriwijaya, muncul dua kerajaan baru di tanah Pasundan, yakni Kerajaan Sunda dan Kerajaan Parahiyangan menjelaskan mengenai Kerajaan Galuh dimulai sewaktu Rahiyangta ri Medangjati yang menjadi pemimpin selama 15 tahun. Kemudian, kekuasaan diwariskan kepada puteranya di Galuh yaitu Sang juga Sejarah Tarumanegara & Daftar Prasasti Peninggalannya Pesona Ratu Harisbaya Memicu Konflik Sumedang vs Cirebon Sejak Zaman Tarumanegara, Jakarta Sudah Langganan Banjir Sejarah dan Pusat Kerajaan Hasil penelitian bertajuk "Rekonstruksi Kerajaan Galuh Abad VIII-XV" karya Nina Herlina Lubis dan kawan-kawan yang terhimpun dalam Jurnal Paramita Volume 26, 2016 mengungkapkan bahwa pusat Kerajaan Sunda dan Galuh berada di lokasi yang Sunda berpusat di Pakuan Pajajaran Bogor sekarang, sedangkan Kerajaan Galuh berpusat di menjadi kerajaan yang berdaulat, Sunda dan Galuh berada di bawah taklukan Tarumanegara pada masa pemerintahan Maharaja Linggawarman 666-669 M.Setelah Maharaja Linggawarman wafat, tampuk kepemimpinan Kerajaan Tarumanegara diteruskan oleh menantunya yang kemudian bergelar Sri Maharaja Tarusbawa. Pada periode inilah terjadi pergolakan. Penguasa Galuh, Wretikandayun, memberontak dan melepaskan diri dari Tarumanegara. Tahun 612, Wretikandayun mendeklarasikan Kerajaan Galuh sebagai pemerintahan yang ini membuat Tarumanegara semakin melemah hingga akhirnya runtuh karena serangan dari Kerajaan Sriwijaya pada sekitar 650 Masehi. SriSri Maharaja Tarusbawa yang selamat kemudian mendirikan pemerintahan baru bernama Kerajaan Sunda di tepi hulu Sungai Cipakancilan yang termasuk wilayah Bogor sekarang. Baca juga Salakanagara, Kerajaan Sunda Tertua di Nusantara Sejarah Kerajaan Larantuka & Kaitannya dengan Majapahit Sejarah Singkat Majapahit, Pusat Kerajaan, & Silsilah Raja-Raja Perkembangan Kerajaan Sunda Galuh Tahun 732 M, sosok yang dikenal dengan nama Sanjaya berhasil menggabungkan Kerajaan Sunda dan Galuh setelah wafatnya Sri Maharaja Tarusbawa, demikian tulis Ayatrohaedi dalam Sundakala Cuplikan Sejarah Sunda Berdasar Naskah-Naskah "Panitia Wangsakerta" 2005.Sanjaya adalah cicit dari pendiri Kerajaan Galuh, Wretikandayun, yang juga suami dari putri Sri Maharaja Tarusbawa, pendiri Kerajaan Sunda. Sanjaya tampil sebagai pemersatu Sunda-Galuh setelah Sri Maharaja Tarusbawa meninggal itu, Sanjaya juga merupakan cucu dari Ratu Shima 674-695 M, pemimpin Kerajaan Kalingga yang berpusat di Jepara, Jawa bagian tengah. Maka, Sanjaya pun berhak memimpin Kalingga sepeninggal Ratu atau Prabu Harisdarma inilah yang nantinya mendirikan Kerajaan Mataram Kuno sekaligus sebagai pendiri Wangsa harus bertakhta di Kerajaan Kalingga, Sanjaya menyerahkan tampuk kekuasaan Sunda-Galuh kepada puteranya yang bernama Rakeyan Panaraban 732 -739 M. Baca juga Sejarah Samudera Pasai Pendiri, Masa Jaya, & Peninggalan Sejarah Kepemimpinan Ratu Shima di Kerajaan Kalingga Sejarah Kerajaan Jenggala Prasasti, Peninggalan, & Silsilah Raja Namun, di bawah pemerintahan Rakeyan Panaraban, Sunda-Galuh kembali terpecah. Pada 739 M, Panaraban membagi kekuasaan kepada kedua putranya, yaitu Sang Manarah yang berkuasa di Kerajaan Galuh dan Sang Bangga yang mendapatkan singgasana Kerajaan Sunda. Berabad-abad lamanya dua kerajaan bersaudara ini menjalani hidup masing-masing. Hingga akhirnya, pada 1482, Kerajaan Sunda dan Galuh bersatu kembali berkat terjadinya pernikahan Jayadewata dari Galuh dengan Ambetkasih dari dan Galuh kembali bersatu di bawah pimpinan Jayadéwata yang menyandang gelar Sri Baduga Maharaja 1482-1521. Pada masa Sri Baduga Maharaja, Kerajaan Sunda dan Galuh dikenal dengan nama Kerajaan Pajajaran Pakuan Pajajaran.Tahun 1579, Kerajaan Sunda-Galuh atau Pakuan Pajajaran diserang Kesultanan Banten yang membuat imperium di telatah Pasundan ini harus mengakhiri riyawat Sunda-Galuh Prasasti Rakryan Jurupangambat Prasasti Citatih Prasasti Cikapundung Prasasti Pasir Datar Prasasti Huludayeuh Prasasti Kawali Prasasti Kebantenan Prasasti BatutulisBaca juga Sejarah Agresi Militer Belanda II Latar Belakang, Tokoh, Dampaknya Sejarah Perundingan Renville Latar Belakang, Isi, Tokoh, & Dampak Kesultanan Aceh Darussalam Sejarah Kejayaan dan Peninggalan - Sosial Budaya Kontributor Alhidayath ParinduriPenulis Alhidayath ParinduriEditor Iswara N Raditya
MengenalKerajaan Sunda lebih dalam. Setelah berkilas balik tentang berdirinya kerajaan di tanah Sunda, mari kita mengintip bagaimana kehidupan dalam berbagai aspek di Kerajaan Sunda. 1. Kehidupan politik dan militer. Pemerintahan era lampau tidak lepas dari kata kerajaan. Jawa Barat merupakan salah satu wilayah atau daerah di Indonesia yang memiliki sejarah panjang kerajaan nusantara. Salah satu kerajaan yang paling dikenal berdiri di wilayah ini adalah Kerajaan Pajajaran. Berikut beberapa fakta sejarah tentang Kerajaan Pajajaran beserta penjelasannya. Sejarah Kerajaan PajajaranLokasi, Letak, dan Peta WilayahSilsilah Raja1. Sri Baduga Maharaja 1482-15212. Surawisesa 1521-15353. Ratu Dewata 1535-16434. Ratu Sakti 1543-15515. Ratu Nilakendra 1551-15676. Raga Mulya 1567-1579Kehidupan Kerajaan Pajajaran1. Kehidupan politik2. Kehidupan ekonomi3. Kehidupan sosial4. Kehidupan budayaMasa Kejayaan1. Infrastruktur2. Militer3. Keagamaan4. PemerintahanPenyebab KeruntuhanSumber Sejarah1. Prasasti Cikapundung2. Prasasti Huludayeuh3. Prasasti Pasir Datar4. Prasasti Perjanjian Sunda Portugis5. Prasasti Ulubelu6. Prasasti Kebon Kopi II7. Prasasti Batu Tulis8. Prasasti Astana GedePeninggalan1. Komplek Makan Keramat2. Sumur Jalatunda3. Situs Karangkamulyan Sumber Keberadaan Kerajaan Pajajaran bermula dari dua kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda yang dimpimpin oleh Raja Susuktunggal dan Kerajaan Galuh yang dipimpin oleh Raja Dewa Niskala. Kedua kerajaan tersebut terikat oleh sebuah ikatan pernikahan yang terjalin antara putra raja Dewa Niskala dan putri dari Raja Susuktunggal. Pada masa yang sama Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Prabu Kertabumi Brawijaya V sedang mengalami masa keruntuhan. Tidak hanya pemberontakan, mereka juga menghadapi perebutan kekuasaan yang terjadi di internal kerajaan Majapahit. Situasi tersebut akhirnya memaksa penduduk Majapahit mengungsi ke Kerajaan Galuh. Termasuk keluarga salah satu kerabat Raja Brawijaya IV, Raden Baribin. Setelah mereka sampai di Kerajaan Galuh, rombongan pengungsi termasuk keluarga Raden Baribin disambut dengan hangat oleh Raja Dewa Niskala. Tidak disangka, Raja Dewa Niskala memutuskan menikah dengan salah seorang keluarga dari rombongan pengungsi. Bahkan, ia juga menikahkan salah satu putrinya dengan Raden Baribin. Namun, pernikahan ini mendapat pertentangan dari Raja Susuktunggal. Ia menganggap bahwa Kerajaan Galuh sudah melanggar aturan yang sudah disepakati sejak Peristiwa Bubat, yaitu larangan bagi orang-orang dari Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda untuk menikah dengan keturunan Kerajaan Majapahit. Pada akhirnya, pernikahan ini pun menimbulkan perselisihan antara dua kerajaan tersebut. Sebelum peperangan antar kedua kerajaan meletus, dewan penasihat dari kedua kerajaan melakukan perundingan. Perundingan tersebut menghasilkan keputusan bahwa kedua raja yang berselisih harus mundur dari tahtanya dan memilih seorang pengganti untuk memimpin Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda. Kedua raya yang berselisih tersebut memlih Jayadewata untuk mempersatukan dan memimpin kedua kerajaan. Setelah Jayadewata terpilih menjadi raja, ia memperoleh gelar Sri Baduga Maharaja, yang kemudian ia lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Kedua kerajaan tersebut pun akhirnya bersatu dan resmi berganti nama menjadi Kerajaan Pakuan Pajajaran pada tahun 1482. Lokasi, Letak, dan Peta Wilayah Sumber Kata “pakuan” sendiri memiliki arti “kota”. Sehingga, apabila diterjemahkan, Kerajaan Pakuan Pajajaran dapat diartikan menjadi Kerajaan Kota Pajajaran. Penamaan ini tidak lepas dari lokasi kerajaan yang terletak di Pajajaran yang kini dikenal sebagai Kota Bogor. Menurut Tom Peres dalam tulisannya yang berjudul The Suma Oriental, Jawa Barat merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Sunda-Galuh ini juga memiliki beberapa batas geografis. Di sisi Barat berbatasan dengan Selat Sunda, bagian Utara berbatasan dengan Laut Utara Jawa Barat, sisi Timur berbatasan dengan Sungai Cipamali Pamali, dan bagian Selatan berbatasan dengan Samudera Hindia. Silsilah Raja Semenjak bersatu pada sekitar abad ke-15, Kerajaan Pajajaran telah dipimpin oleh beberapa Raja. Berikut daftar dan penjelasan singkat raja-raja yang sudah pernah memerintah di Kerajaan Pakuan Pajajaran. 1. Sri Baduga Maharaja 1482-1521 Sumber Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi merupakan anak dari Raja Dewa Niskala. Nama Siliwangi sendiri berasal dari dua suku kata, yaitu “silih” dan “wangi” yang bermakna pengganti Prabu Wangi. Ia merupakan pemimpin pertama setelah kerajaan Galuh dan Sunda bersatu. Seperti yang tertulis dalam parasasti Batutulis, ia dinobatkan sebagai raja sebanyak dua kali. Pertama, yaitu ketika ia menerima tahta dari ayahnya, Dewa Niskala, dan memperoleh gelar Prabu Guru Dewataprana. Kedua, yaitu ketika ia menerima tahta dari kerajaan Galuh, yang kemudian menjadikan ia sebagai pendiri Kerajaan Pajajaran, yang merupakan gabungan dari Kerajaan Galuh dan Sunda. Di bawah pemerintahannya, kerajaan tidak memperbolehkan memungut bea atau pajak pada penduduk Jayagiri dan Sunda Sumbawa. Secara spesifik, terdapat empat macam pajak yang dibebaskan, yaitu berupa pajak tenaga perorangan dasa, pajak tenaga kolektif calagra, pajak kapas 10 pikul kapas timbang, dan pajak padi satu gotongan pare dondang. Selain itu, Prabu Siliwangi juga terkenal dengan mitos tentang bagaimana ia mampu mengalahkan siluman hari putih yang kemudian menjadi pengikutnya. 2. Surawisesa 1521-1535 Ia merupakan raja kedua Kerajaan Pajajaran setelah Prabu Siliwangi turun tahta. Ia menduduki tahta kerajaan setelah Raden Walangsungsang sebagai putra mahkota memutuskan untuk keluar dari kerajaan dan mendirikan Kerajaan Cirebon. Sebagai seorang Raja Pajajaran, ia ingin memajukan dan mensejahterakan seluruh rakyatnya. Selama memimpin, Surawisesa tercatat telah menghadapi sebanyak 15 pertempuran. Sehingga, ia dianggap sebagai pemimpin yang perkasa dan pemberani. Sayangnya, banyaknya perang yang dihadapi oleh Surawisesa tidak lepas dari wataknya yang selalu menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan segala permasalahan. Bahkan semenjak ia bertahta, Kerajaan Pajajaran sering berperang dengan Kerajaan Cirebon. Walaupun pada tahun 1531 kedua kerajaan tersebut sudah bersepakat untuk berdamai dan saling mengakui wilayah satu sama lain. Meskipun demikian, banyak masyarakat Kerajaan Pajajaran yang merasa kecewa dengan kepemimpinan Surawisesa dan memaksanya untuk turun tahta. Sudah merasa tidak dibutuhkan lagi, ia kemudian memutuskan untuk turun tahta dan pergi dari Kerajaan Pajajaran. 3. Ratu Dewata 1535-1643 Berbeda dengan ayahnya yang dikenal sebagai panglima perang dan pemberani, Ratu Dewata dikenal sebagai pemimpin yang alim atau taat dalam beragama. Beberapa ritual keagamaan seperti sunat dan tapa pwah susu, sebuah kegiatan praktik dimana hanya seseorang hanya boleh mengkonsumsi susu dan buah-buahan, sering dipraktekkan di bawah kepemimpinannya. Di bawah kepemimpinannya, Kerajaan Pajajaran diserang secara tiba-tiba oleh pasukan Hasanuddin dari Banten. Sayangnya, karena ia kurang peka dengan kondisi politik pemerintahan yang membuat ia tidak siaga dengan potensi bahaya, Kerajaan Pajajaran hampir tidak selamat. Beruntung, Ratu Dewata masih didampingi oleh perwira yang pernah mendampingi ayahnya berperang serta keberadaan benteng kokoh yang dibangun oleh Prabu Siliwangi. Sehingga serangan yang dipimpin oleh Hasanuddin gagal, meski harus ada dua senopati Pajajaran yang harus gugur. 4. Ratu Sakti 1543-1551 Ratu Sakti atau Kaliyuga merupakan raja keempat Kerajaan Pajajaran yang juga sekaligus raja dengan masa kepemimpinan yang paling singkat. Apabila dibandingkan dengan Ratu Dewata yang sangat alim, Ratu Sakti memiliki sifat yang gemar berfoya-foya bermabuk-mabukan, gemar menghina orang tua bahkan para pemuka agama. Di masa kepemimpinannya Kerajaan Pajajaran mengalami masa-masa yang suram karena kepemimpinan yang buruk dari Kaliyuga yang sangat kurang memperhatikan rakyatnya. Dengan kondisi ekonomi yang buruk, masyarakat di wilayah pedalaman Kerajaan Pajajaran banya yang terpaksa melakukan tindakan maksiat dan membuat situasi kerajaan tidak terkendali. Selain itu, Ratu Sakti juga mengedepankan kekerasan dan represi untuk menyelesaikan permasalahan, termasuk dalam menghukum masyarakatnya yang melakukan kesalahan. Harta benda masyarakat pun banyak yang disita oleh kerajaan dan sistem perpajakan yang berlaku pun sangat tidak menguntungkan rakyat kecil. 5. Ratu Nilakendra 1551-1567 Ratu Nilakendra atau Tohan Di Majaya memerintah selama 16 tahun. Namun, meski sudah berganti pemimpin, kondisi Kerajaan Pajajaran justru jauh lebih buruk. Setelah dilanda kelaparan yang cukup parah saat masa kepemimpinan Kaliyuga, masyarakat Kerajaan Pajajaran juga kembali tidak diperhatikan karena Ratu Nilakendra fokus memperdalam ajaran aliran Tantra. Daripada memperhatikan kesejahteraan masyarakatnya, ia justru semakin jauh dalam mempercayai aliran Tantra, seperti banyak membangun bangunan kramat dan menarih jimat di sekitar istananya. Bahkan, Ratu Nilakendra lebih memilih untuk membuat bendera keramat daripada melakukan peremajaan terhadap sistem persenjataan untuk meningkatkan pertahanan kerajaan. Alhasil, saat Kerajaan Pajajaran berperang dengan Kerajaan Banten, mereka selalu mengalami kekalahan dan ibu kota kerajaan berhasil direbut. Setelah secara “de jure” Kerajaan Pajajaran runtuh, Ratu Kendra pun memutuskan melarikan diri dan ia wafat pada tahun 1567 dalam pelariannya. 6. Raga Mulya 1567-1579 Raga Mulya atau Prabu Suryakencana adalah raja terakhir Pajajaran yang memerintah selama 12 tahun. Ia naik tahta ketika Kerajaan Pajajaran sudah tidak berada di Pakuan. Hal ini terjadi karena kerajaan telah berpindah dari daerah pakuan Bogor dipindah ke daerah Pandai Gelang Suryakencana. Lebih tepatnya yaitu di wilayah Kaduhejo, Kecamatan Menes, lereng Gunung Pulasari, Pandeglang. Di bawah kekuasaanya, Raga Mulya membuka pemukiman penduduk baru di daerah Cisolok dan Bayah. Ia pun juga menyerahkan beberapa pusaka milik Kerajaan Pajajaran kepada Prabu Geusan Ulum yang memerintah Kerajaan Sumedanglarang melalui empat panglimanya. Namun, keempat panglima itu berkhianat dan justru bergabung dengan Prabu Geusan Ulum. Pada akhirnya, Kerajaan Pajajaran pun benar-benar runtuh di masa kepemimpinan Raga Mulya setelah Panembahan Yusuf dari Kesultanan Banten melakukan aksi penyerangan. Kehidupan Kerajaan Pajajaran Terdapat empat aspek kehidupan yang dapat dilihat dari masyarakat Kerajaan Pajajaran, yaitu 1. Kehidupan politik Masih sedikit sumber sejarah yang bisa menjelaskan secara detail atau lengkap mengenai gambaran kehidupan politik Kerajaan Pajajaran. Sejauh ini, kehidupan politik yang bisa digambarkan adanya perpindahan pusat pemerintahan dan pergantian tahta raja. Secara urut, pusta kerajaan yang dimaksud adalah Kerajaan Galuh, Prahajyan Sunda, Kawali, serta Pakwan Pajajaran. 2. Kehidupan ekonomi Secara umum, masyarakat Kerajaan Pajajaran sangat menggantungkan hasil pertanian dan kebun. Beberapa hasil bumi yang biasa mereka hasilkan yaitu beras, sayuran, buah-buahan, serta lada. Selain menjadi petani, masyarakat setempat juga memiliki mata pencaharian sebagai nelayan dan menjadi pedagang. Hal ini diperkuat dengan keberadaan enam pelabuhan penting yang mengelilingi kerajaan, yaitu Pontang, Cigede, Tamgara, Banten, Sunda Kelapa, dan Cimanuk. 3. Kehidupan sosial Masyarakat Pajajaran dapat terbagi menjadi beberapa golongan. Diantaranya adalah golongan seniman penari, pemusik, badut, golongan pedagang, golongan petani, serta golongan jahat perampok, pencuri, pembunuh. 4. Kehidupan budaya Budaya masyarakat Kerajaan Pajajaran, baik yang sehari-hari maupun ritual, sangat dipengaruhi oleh agama Hindu. Sehingga Kerajaan Pajajaran bisa disebut dengan kerajaan bercorak Hindu. Beberapa peninggalannya adalah kerajinan batik, beberapa prasasti, Kitab Cerita Parahyangan, dan Kitab Sangyang Siksakanda. Masa Kejayaan Sumber Meskipun sudah berganti pemimpin sebanyak enam kali, Kerajaan Pajajaran justru memperoleh puncak kejayaannya ketika dipimpin oleh raja pertama mereka, Prabu Siliwangi. Berikut penjelasan lengkapnya 1. Infrastruktur Di bidang infrastruktur, Prabu Siliwangi telah berhasil membangun Telaga Maharena Wijaya. Telaga ini sangat bermanfaat bagi masyarakat Pajajaran, khususnya mereka yang bermata pencaharian sebagai petani. Selain itu, ia juga membangun jalan menuju Pakuan dan Wanagiri. 2. Militer Di bidang militer, Prabu Siliwangi berhasil membentuk angkatan perang yang kuat. Ia juga membangun asrama dengan fasilitas yang sangat lengkap, pagelaran, kaputren, serta memperkuat benteng pertahanan. 3. Keagamaan Dalam keagamaan, Prabu Siliwangi mewujudkan kepeduliannya dengan mendirikan desa khusus untuk para pemuka agama. Tujuannya yaitu agar kehidupan beragama di Kerajaan Pajajaran dapat terus berjalan dan lebih terjamin. 4. Pemerintahan Di bidang pemerintahan, Kerajaan Pajajaran sudah mampu membuat peraturan atau undang-undang untuk mengatur kehidupan masyarakat. Di samping itu, Prabu Siliwangi juga mengatur sistem pajak atau mengatur upeti yang akan diserahkan ke kerajaan. Penyebab Keruntuhan Penyebab runtuhnya Kerajaan Pajajaran diakibatkan oleh serangan dari Maulana Yusuf yang berasal dari Kesultanan Banten pada tahun 1570. Keruntuhan Pajajaran ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana singgasana raja dari Pakuan Pajajaran ke Keraton Surosowan oleh Maulana Yusuf. Tindakan ini ditujukan sebagai tradisi politk agar tidak ada lagi yang diangkat menjadi raja di Pakuan Pajajaran. Sumber Sejarah Terdapat peninggalan Kerajaan Pajajaran yang ditemukan dalam bentuk prasasti. Selain sebagai sumber sejarah, prasasti ini juga menunjukkan kemajuan kerajaan Pajajaran. Berikut beberapa contoh prasastinya 1. Prasasti Cikapundung Sumber Prasasti ini ditemukan pada tanggal tahun 1884 di kawasan perkebunan kina di Cikapundung-Ujungberung. Di permukaan prasasti ini ditemukan gambar telapak tangan, telapak kaki, serta wajah. Ditemukan pula sebuah tulisan yang apabila diartikan berbunyi semua manusia di dunia dapat mengalami kejadian apapun. 2. Prasasti Huludayeuh Sumber Prasasti Huludayeuh ditemukan di kawasan persawahan Desa Cikahalang, Kecamatan Dukupuntang, Cirebon. Saat ditemukan oleh peneliti dan arkeolog pada tahun 1991, kondisi prasasti ini sudah tidak utuh lagi dan terdapat bagian yang sudah rusak. Sehingga, ada beberapa tulisan di permukaannya yang hilang dan menjadikannya tidak terbaca. Namun secara garis besar, isi prasasti ini bercerita tentang usaha Sri Maharaja Ratu Haji untuk membuat rakyat kerajaan sejahtera. 3. Prasasti Pasir Datar Prasasti yang kini disimpan di Museum Nasional Jakarta ini ditemukan di Pasir Datar, Cisande, Sukabumi tahun 1872. Sayangnya prasasti ini masih belum berhasil ditranskripsikan, sehingga belum diketahui pesannya. 4. Prasasti Perjanjian Sunda Portugis Sumber Prasasti berbentuk tugu ini menjadi bagian dari simbol atau lambang perjanjian antara Kerajaan Portugis dengan Kerajaan Sunda. Sumber sejarah yang ditemukan di Jakarta pada tahun 1918 ini dibuat oleh utusan dagang Kerajaan Portugis di Malaka yang membawa logistik atau barang untuk diserahkan kepada Surawisesa. 5. Prasasti Ulubelu Sumber Prasasti ini ditemukan pada tahun 1936 di Ulubelu, Desa Rebangpunggung, Lampung, Sumatera Selatan. Prasasti yang diyakini ditulis menggunakan aksara Sunda kuno ini berisi mantra untuk meminta pertolongan kepada Dewa Wisnu, Siwa, Brahma, serta dewa penguasa tanah, air, dan pohon agar terus diberikan keselamatan. 6. Prasasti Kebon Kopi II Sumber Prasasti ini merupakan peninggalan Kerajaan Sunda Galuh dan ditemukan pada abad ke-19 di Kampung Pasir Muara, Desa Ciaruteun Ilir, Bogor, Jawa Barat. Prasasti yang diyakini dibuat pada 932 Masehi ini bercerita tentang prestasi yang telah diperoleh seorang raja yang memerintah Kerajaan Pajajaran. 7. Prasasti Batu Tulis Sumber Pembacaan isi prasasti ini dilakukan pertama kali oleh Friederich pada tahun 1853. Namun prasasti ini baru bisa dibaca beberapa tahun kemudian oleh seorang peneliti bernama Cornelis Marinus Pleyte. Prasasti tersebut berisikan penjelasan mengenai kampung Batu Tulis yang di masa Kerajaan Pajajaran berkuasa dijadikan sebagai tempat Puri. Di samping itu, sumber sejarah ini juga berisikan tentang pembagian wilayah Pajajaran dan pemindahan pusat pemerintahan dari Pakuan ke Pandeglang. 8. Prasasti Astana Gede Sumber Prasasti ini merupakan peninggalan dari masa Kerajaan Galuh pada abad ke-14 Masehi dan merujuk kepada beberapa prasasti yang ditemukan di wilayah Kabuyutan Kawali, Ciamis, Jawa Barat. Diyakini bahwa keberadaan prasasti ini adalah sebagai simbol kejayaan Prabu Niskala Watu Kancana. Peninggalan Berikut penjelasan singkat beberapa peninggalan Kerajaan Pajajaran selain prasasti yang masih bisa ditemui 1. Komplek Makan Keramat Sumber Makam ini adalah tempat dimana istri kedua Prabu Siliwangi, Ratu Galuh Mangkualam dikebumikan. Lokasi komplek makan ini tepatnya di Kebun Raya Bogor, Desa Peledang, Bogor, Jawa Barat. Di komplek yang sama juga dapat ditemukan tempat pemakaman panglima perang sekaligus pendiri Desa Peledang, Mbah Jepra, serta gubernur Prabu Siliwangi, Mbah Baul. 2. Sumur Jalatunda Sumber Sumur ini terletak di Gang Jambekuina dan merupakan mata air dangkal yang konon tidak pernah kering meskipun di musim kemarau sekalipun. Pada saat banyak masyarakat yang memegang kepercayaan Sunda Wiwitan, situs ini sering digunakan sebagai tempat semedi banyak orang. Selain itu, air dari sumur ini sering digunakan untuk ritual kasepuhan karena masih dipercaya sebagai salah satu dari tujuh mata air suci yang ada di Kampung Budaya Sindang Barang. 3. Situs Karangkamulyan Sumber Peninggalan Kerajaan Pajajaran yang bercorak Hindu-Buddha ini terletak di daerah Cijeungjing, Ciamis, Jawa Barat. Di samping dongeng kesaktian dan kehebatan, situs ini pun menceritakan tentang hubungan Ciung Wanara dengan Kerajaan Galuh sebagai seorang pemimpin yang adil dan bijaksana. aQZB.
  • 08sc94j1hx.pages.dev/64
  • 08sc94j1hx.pages.dev/399
  • 08sc94j1hx.pages.dev/297
  • 08sc94j1hx.pages.dev/363
  • 08sc94j1hx.pages.dev/385
  • 08sc94j1hx.pages.dev/244
  • 08sc94j1hx.pages.dev/502
  • 08sc94j1hx.pages.dev/326
  • kehidupan politik kerajaan sunda